Sangking Merananya, Petani Telukjambe Barat di Rusun Adiarsa Hanya Bisa Makan Singkong Rebus
Ratusan petani Telukjambe Barat tercerai-berai dan terusir, kini hidupnya terkurung di Rusunawa Adiarsa.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pasca konflik dengan PT Pertiwi Lestari, ratusan petani Telukjambe Barat tercerai-berai dan terusir, kini hidupnya terkurung di Rusunawa Adiarsa.
Kondisi para petani itu terlunta-lunta semenjak berhentinya bantuan pangan dari Pemkab Karawang.
Akibatnya, mereka makan tak menentu dan terkadang hanya sehari sekali. Ditambah lagi, mereka juga kekurangan jatah air bersih.
Di tengah ketidakmampuan Pemkab dalam menanggung hidup mereka, para petani berharap Pemkab memulangkan mereka kembali ke desanya.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Salah satu petani di Telukjambe Barat, Budiono, menceritakan hari-harinya yang kian merana di Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Adiarsa.
“Kamarin kami sempat dua sampai tiga hari hanya makan singkong. Anak-anak sampai nangis semua. Sedih lah pak pokoknya, tapi mau bagaimana lagi, rumah kami sudah hancur. lahan kami dipagari sehingga kami tidak bisa masuk. Itu masih untung, karena masih ada yang kirim daun singkong sekarung dua karung. Kami di sini sejak saat itu juga tidak pernah mandi pakai sabun, “ucap Budiono.
Di gedung tua berlantai lima itu, ia bersama istri dan empat anaknya hanya bisa makan singkong rebus tanpa lauk. Itu pun, hanya satu kali sehari lantaran persediaan singkong yang diberi sanak saudaranya kian menipis.
Dia masih ingat, terakhir kali bantuan pangan dari Pemkab Karawang, datang akhir tahun lalu. Pria berusia 42 tahun ini, juga tak bisa lagi bertani setelah lahannya di Desa Wanajaya, diambil paksa PT Pertiwi Lestari. Maka, Budiono kini kerja serabutan sebagai kuli harian.
“Ya mau kerja apa mas, kalau di sini kan repot mau kemana-mana. Ya mungkin sebagian yang punya kenalan di luar bisa menjadi kuli bangunan sehari 50 sampai 60 ribu tetapi hanya satu dua orang tidak semua. Kadang juga giliran dua tiga hari. Nah ini sampai kapan kita seperti ini, padahal aslinya kami ini kan petani, “sambungnya.
Begitu pula dengan Mad Suhadi. Pria berusia 49 tahun ini terpaksa meninggalkan istri dan tiga anaknya selama empat hari di Rusunawa Adiarsa. Di lokasi dulu ia bertani, yaitu Desa Wanajaya, Suhadi mencari kayu untuk dibuat arang.
Empat hari membuat arang kayu, hasilnya 10 karung. Tapi tetap saja, hasil menjual arang kayu tak cukup memenuhi kebutuhan keluarganya. Belum kalau ada yang sakit.
“Kemarin pas saya di sana ada yang mengabari ke saya kalau anak dan istri saya sakit, saya langsung pulang. Lumayan kemarin dapat 10 karung. Dijual disana karena sudah ada yang menampung. Biasanya kalau pengepul langsung ambil di sana itu bisa mencapai 13 ribu perkarung,” kata Mad Suhadi.
Berbeda dengan Budiono dan Mad Suhadi, kondisi agak baik dialami Qomar sekeluarga. Sebelum konflik dengan preman PT Pertiwi Lestari terjadi pada Oktober tahun lalu yang kemudian memaksa mereka terusir dan terdampar di Rusunawa Adiarsa, Qomar masih punya persediaan gabah hasil panen terakhirnya.
Gabah itu lantas ia jual dan uangnya dijadikan modal usaha berdagang kopi keliling dengan sepeda.
“Itu saya kembangin modalnya jadi jualan kopi pakai sepeda. Saya jalan ke Galuh, Rumah Sakit Umum Daerah Karawang, hingga Galuh Mas, dan balik lagi lalu berlanjut sampai ke Karang Pawitan. Sehari saya berdagang mulai jam 7 Pagi dan pulang jam 12. Kemudian mulai berdagang lagi jam 4 sore dan baru pulang jam 11 malam. Rata-rata pendapatan yang terkumpul 25 ribu hingga 30 ribu sehari, tapi itu tak tentu,” ungkap Ade-Qomari.
Total ada 180-an lebih warga petani Telukjambe, yang 80 di antaranya anak-anak yang terancam putus sekolah karena tak ada biaya.
Sejak mereka pindah ke sana pada 12 November 2016, petani dijanjikan kebutuhan sehari-hari, mulai dari makan, air bersih, hingga pendidikan akan ditanggung Pemkab Karawang.
Namun, semuanya terhenti pada 28 Desember 2016 dengan alasan persoalan administrasi.
Rusunawa Adiarsa yang dimilik Pemkab Karawang sempat mangkrak selama 12 tahun. Padahal dulu, niatnya dibangun untuk membantu masyarakat Karawang yang kurang mampu, sehingga memiliki tempat tinggal.
Nyatanya, tak ada satu pun warga yang tertarik tinggal di sana. Ada isu rumah susun itu menyeramkan lantaran berdiri di atas lahan bekas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang.
Saking derasnya isu itu, Rusunawa Adiarsa pernah dijadikan lokasi syuting Uji Nyali. Sementara itu, Pemkab Karawang menyalahkan warga atas putusnya bantuan pangan.
Asisten Daerah Satu Kabupaten Karawang, Samsuri, mengatakan warga menolak menandatangani pencairan uang bantuan sosial yang secara teknis, harus diajukan terlebih dahulu.
"Ternyata ada sebagian kecil orang yang kurang paham, sudah dijelaskan juga tidak paham. Tidak mau tanda tangan, sampai dengan akhir tahun, otomatis kan tidak bisa kita cairkan. Sementara dana sebelumnya itu harus dikembalikan. Di awal tahun baru mau tanda tangan mereka, tetapi proses anggaran belum berjalan, jadi agak terlambat. Akhirnya dana tersebut baru bisa dicairkan di pekan ketiga Januari kalau tidak salah," jelas Samsuri.
Samsuri menambahkan, sesuai perjanjian maka sejak 14 Februari lalu, tugas Pemkab Karawang menanggung kebutuhan warga sudah berakhir. Selanjutnya, warga diminta meninggalkan rusun.
"Kalau mereka meminta, mungkin sementara masih bisa menempati rusun. Sebaliknya, jika tidak merekakan punya sanak saudara, mungkin mereka mau menerima, kita akan tawarkan. Terkait keinginan mereka ingin kembali ke desanya, masalahnya yang punya wilayahnya menutup gimana. Kan sudah ada yang punya. Mereka tidak akan menyewa, tapi toh selama ini sepi-sepi saja di rusun, mereka juga sudah banyak yang bekerja diluar," ungkap Samsuri.
Pendamping petani Telukjambe Barat, Ahmad Rifai, menyatakan keengganan warga menandatangani pancairan bantuan itu lantaran trauma. Pasalnya, warga pernah ditipu karena membubuhkan tanda tangan dan akibatnya mereka terusir dari tanahnya.
Kini, Serikat Tani Nasional tengah mengupayakan perpanjangan izin tinggal di Rusunawa Adiarsa.
"Kemudian terkait sampai batas akhir tanggal 13 Februari kemarin, kita ini sedang proses permohonan lanjutan petani untuk tinggal di Rusun kepada Pemda Karawang. Tinggal kita tunggu keputusan Pemda Karawang itu seperti apa ya kan, mengingat ada kesepakatan kita dalam waktu dekat ini akan ada keputusan konkrit dari pemerintah pusat dan daerah soal penyelesaian masalah ini, “ ungkap Ahmad Rifai.
Kondisi ini membuat Budiono dan petani Telukjambe Barat tak banyak berharap. Mereka hanya minta agar dikembalikan ke desa mereka. Toh nyatanya Pemkab tak mampu menanggung hidup mereka. Dengan begitu, petani tak perlu lagi ‘menyusahkan’ Pemkab Karawang.
“Harapan kami ya, pemerintah itu secepatnya lah kami itu diperlakukan selayaknya warga Negara yang lain. Kami itu warga Negara juga, dan kami itu kan sebenarnya petani, kalau kondisi seperti ini jelas bukan habitat kami. Tolong apapun itu tolong pulangkan kita saja ke lokasi semula gitu aja deh. Kalau kaya gini kami mau kerja apa, dan yang paling penting adalah masa depan anak-anak itu mau jadi apa,” harap Budiono.
Penulis : Ade Irmansyah / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)