Mengadu Pada Bupati Tak Digubris, Ini Akhirnya yang Dilakukan Warga Gunung Karang
Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten, diserobot PT Tirta Fresindo Jayanak usaha Mayora Group demi bisnis minuman kemasan.
TRIBUNNEWS.COM - Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten, diserobot PT Tirta Fresindo Jayanak usaha Mayora Group demi bisnis minuman kemasan.
Akibatnya warga sekitar yang bertahun-tahun bergantung pada mata air dari kaki gunung itu, kekeringan.
Belakangan pada Februari lalu, mereka mengadu ke kantor bupati, tapi dianggap angin lalu. Warga yang emosi lalu merusak gudang perusahaan. Seperti apa konflik air di sana?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Hasan, pemilik Pesantren Al Hijaiyah di Desa Cadasari, Pandeglang, Banten, menceritakan imbas aksi pengerusakan dan pembakaran backhoe milik PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group.
“Waktu jenguk ke korban yang ditangkap juga tidak pada nongol. Banyak yang buron, ada 11 orang. Kita sudah sama ustad Uci untuk menghentikan penangkapan. Resah-resah bikin resah,” ungkap Hasan.
Kejadian itu berlangsung pada 6 Februari 2017. Saat itu, seratusan warga Desa Cadasari menggelar aksi unjuk rasa di kantor Bupati Pandeglang menuntut agar menghentikan aktivitas perusahaan.
Namun lantaran tak ditemui bupati, warga kemudian pergi, marah karena merasa tak diacuhkan.
Ketika hendak pulang dan melewati jalan depan pabrik, warga yang emosi langsung menggeruduk dan merusak apa saja yang ada di sana, termasuk backhoe.
“Kami mengadakan aksi damai di Pandeglang memohon izin, dan melakukan pemberitahuan kepada Kapolres untuk audiensi, ke Bupati juga. Singkat cerita berbagai elemen masyarakat hadir. Ada 400 orang. Bupati diminta menemui dan berdialog masyarakat,” ungkap Ustad Uci.
“Sekian lama bupati tidak mau keluar dan malah ke Menes daerah lain. Masyarakat kan kesal, terus pulang sesampai di PT mereka berhenti dan pada turun. Tanpa komando mereka bobol pintu gerbang oleh anak di bawah umur. Gerbang dapat dijebol mereka masuk ke atas ke bagian gedung lemparan-lemparan segala. Polisi tidak bisa apa-apa,” tambahnya lagi.
Tapi sesungguhnya, protes atas usaha perusahaan tersebut sudah dilakoni sejak 2013. Gelombang penolakan diisi dengan demonstrasi ke Istana Negara hingga istiqosah.
“Di 2014, setelah kami negosiasi dengan Bupati Erwan Kurtubi dikeluarkanlah surat penghentian investasi pada tahun 2014. Dinyatakan di sana dikeluarkan surat penghentian investasi,” ujar Ustad Uci.
“Setelah 6 bulan kemudian jalan kembali dimulai dari lurah setempat. Kita lakukan aksi lagi sampai pengaduan kita di Istana. Kita ketemu Walhi, LBH, Komnas HAM, Dewan Air, Hasyim Muzadi, tetapi tanggapannya seolah-olah mereka tidak tanggap. Khususnya investasi yang jadi alasan,” tambahnya lagi.
Meski Bupati Pandeglang sebelumnya Erwan Kurtubi mengeluarkan surat Nomor 0454/1669-BPPT/2014 tertanggal 21 November 2014 yang isinya menghentikan kegiatan investasi PT Tirta Fresindo Jaya di Desa Cadasari.
Tapi toh perusahaan tetap beroperasi. Inilah yang membuat murka warga Desa Cadasari.
Pasca perusakan dan pembakaran backhoe, tiga warga dijadikan tersangka dan kini mendekam di Polres Pandeglang.
Ketiganya, Fuad Muntur warga Kecamatan Baros, Bimbim warga Kampung Honje Kecamatan Baros, dan Sair Juhut warga Pandeglang.
Tapi belakangan, situasi di Desa Cadasari, jadi mencekam. Selang tiga hari sejak kejadian itu, kata Hasan, polisi berkeliaran, mencari warga yang dituding ikut melakukan perusakan.
Bahkan, beberapa warga yang dianggap memimpin aksi diintai dan didatangi.
Kesewenang-sewenangan polisi itu membuat LBH Rakyat Banten mengajukan gugatan pra peradilan.
Salah satu kuasa hukum warga, Carlos Silalahi, mengatakan dalam proses penangkapan, kepolisian melanggar prosedur dengan tidak memberikan surat penangkapan dan penahanan kepada warga maupun keluarga.
“Penetapan tersangkanya, mulai dari penahanan, pemeriksaan, penangkapan penggeledahan itu tidak sesuai prosedur. Untuk penangguhan penahanan akan dilakukan setelah gugatan pra peradilan,” kata Carlos.
Hanya saja, tudingan mengintai, dibantah Juru Bicara Polda Banten, Zaenudin. Kata dia, pihaknya tidak pernah mengintimdiasi warga. Kalaupun ada, dia mempersilakan agar melapor Propam.
Ditangkapnya beberapa warga oleh kepolisian tak menyiutkan nyali mereka. Pasca insiden perusakan-pembakaran backhoe dan penangkapan, warga yang berjumlah hampir 100 orang melakukan pertemuan di sebuah rumah.
Dalam pertemuan, 16 Februari lalu, warga Desa Cadasari yang dipimpin Sanusi sepakat untuk terus melawan dan mendesak pemerintah membongkar pabrik.
“Bahwa membela hak adalah kewajiban masing-masing. Yang penting sesuai aturan, Insya Allah kita sesuai aturan. Yang penting kita kondusif. Kedua, kesepakatan kita tetap jalur, warga jangan kabur, jangan sungkan,” ujar Ustad Uci.
“Niatkan dalam hati memperjuangkan hak kita. Kalau ada punya rasa untuk mempertahan hak, yuk kita barengan. Kita memohon ke Gusti Allah dengan wasilah jalur hukum yang ada. Jangan keluar dari jalur rel hukum. Jangan kabur, perjuangan kita perjuangan semua. Masih siap, masih semangat,” tambah Ustad Uci.
Sementara itu, orangtua Bimbim, salah satu tersangka perusakan dan pembakaran backhoe, meminta anaknya dibebaskan.
Jahali, begitu ia disapa, mengatakan saat penangkapan polisi tak memberikan surat. Malah, surat penahanan pun tak ada.
“Surat penangkapan baru diterima Selasa, kemarin. Suratnya tidak ditandatangani dan dikirim pakai pos. Tidak ada surat awalnya. Saya lihat mobil lihat, ada lima mobil, saya ada di belakang sambil kerja. Istri saya nangis-nangis dan ngomong mau dibawa ke mana anak saya,” ujar Jahali.
Belakangan, sidang praperadilan yang digelar 27 Februari lalu juga dihalang-halangi kepolisian. Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang pun menolak gugatan yang diajukan kuasa hukum dari LBH Rakyat Banten.