Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bongkar-Pasang Segel Masjid Ahmadiyah Depok

"Mengapa untuk beribadah saja sulit sekali. Tapi mau bagaimana lagi kita berserah diri saja kepada Allah SWT.”

zoom-in Bongkar-Pasang Segel Masjid Ahmadiyah Depok
ANTARA
Petugas Satpol PP Kota Depok menyegel kembali masjid jemaat Ahmadiyah yang segelnya dibongkar oknum di Masjid Al-Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (4/6) dinihari. 

TRIBUNNEWS.COM - Masjid Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat, kembali disegel untuk ke-delapan kalinya sepanjang tahun 2012 hingga sekarang.

Dasar penyegelan pun tak berdasar hukum, tapi hanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut Ahmadiyah sesat.

Padahal, masjid tersebut sudah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan sejak 2007 silam.

Di bulan Ramadan ini, jemaat Ahmadiyah pun terpaksa beribadah di halaman belakang masjid.

Seperti apa kisahnya? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Azan kembali berkumandang dari Masjid Al-Hidayah, Depok, Jawa Barat, di Jumat awal Juni lalu. Sebelumnya, hampir tiga bulan belakangan, hening.

Sebabnya, masjid tersebut disegel Pemkot setempat dengan dalih ada keberatan dari kelompok masyarakat tertentu. Alhasil, tak hanya bangunan yang ditutup tapi juga kegiatan ibadah jemaat Ahmadiyah.

Berita Rekomendasi

Segel pertama dipantek di pintu masjid dengan kayu memalang. Segel kedua, di halaman masjid.

Tapi, meski segel masih terpasang, jemaat Ahmadiyah memberanikan diri beribadah di masjidnya sejak awal Ramadan.

Mengapa? Kata Mubaligh Ahmadiyah, Farid Mahmud Ahmad, itu adalah hak konstitusional tiap warga negara.

“Dalam kesempatan bulan ramadan ini kami warga negara indonesia dan warga Ahmadiyah yang tinggal di depok. Alhamdulillah kami sudah menggunakan masjid kembali. Mulai digunakan saat 01 Ramadan, pertama kali taraweh di hari Sabtu. Dengan begitu kami merasa senang dan merasa bahagia terpenuhi hak-hak kami beribadah. Ini yang ingin kami wujudkan selama ini. Nilai yang tak bisa menandingi kebahagiaan kami saat bisa melaksanaakan ibadah yang kami cintai ini,” kata Farid.

Saat KBR ke sana, mereka tampak khusyuk menjalankan shalat Jumat berjamaah. Sekitar 40 jemaat mengikuti ibadah salat Jumat tersebut.

Sepanjang delapan hari puasa, jemaat Ahmadiyah agak leluasa beribadah. Seperti salat lima waktu berjamaah dan taraweh. Namun malamnya, Pemkot Depok lewat Satpol PP datang. Mereka handak menutup masjid dan melarang kegiatan apapun di dalamnya.

Tak hanya menutup, Wali Kota Depok dan Satpol PP melaporkan Jemaat Ahmadiyah Depok atas dugaan perusakan segel. Atas laporan tersebut, Polresta Depok menyita CCTV sebagai barang bukti. Malam itu, akhirnya segel kembali dipasang.

Wali Kota Depok, Mohammad Idris, berdalih penyegelan itu dilakukan demi melindungi jemaat Ahmadiyah. Pasalnya, penolakan kelompok masyarakat tertentu pada mereka masih kuat.

“Singkatnya kemarin saya mengeluarkan surat teguran pada mereka untuk sementara tidak ada kegiatan. Kenapa? Karena sebelum puasa ada masyarakat yang sudah mau mengancam akan membakar. Oleh karena itu kami melindungi mereka dengan cara meredam kemarahan masyarakat untuk kita segel kembali. Kemarin di bulan puasa kita ingin mewujudkan keamanan agar umat Islam khusyuk dalam salat. Kita redam dulu. Eh ada laporan dari intel bahwa mereka membongkar kembali segel itu. Akhirnya dengan kepolisian waktu itu mengatakan ini sudah pelanggaran terhadap KUHAP. Akhirnya kami ke sana bersama Forkopimda. Kapolres, Kejaksaan, Saya, PN dan Dandim untuk melihat dan meninjau masjid,” kata Idris.

Namun Idris enggan mengungkapkan kelompok masyarakat mana yang menolak dan mengancam dan membakar masjid Ahmadiyah.

Idris juga menggunakan dasar fatwa Majelis Ulama Indonsia (MUI) sebagai senjata menutup masjid Ahmadiyah.

Fatwa itu menyebut Ahmadiyah sesat. Juga Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 dan Peraturan Walikota Depok Nomor 9 tahun 2011 tentang Pelarangan Kegiatan Ahmadiyah.

Hanya saja, keputusan menyegel itu ditolak Farid Mahmud Ahmad, mubaligh Ahmadiyah. Menurutnya, penyegelan itu tak berdasar sebab mestinya harus diputuskan pengadilan.

Apalagi masjid tersebut telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 2007 silam. Kepada KBR, ia menunjukkan tiga lembar surat izin tersebut.

Surat itu ditandatangani Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Depok yakni Ir. H. Utuh K Topanesa tertanggal 24 Agustus 2007. Di situ tertera luas bangunan mencapai 312 meter persegi.

“Mekanisme penyegelan harus melalui pengadilan di persidangan Tipiring. Ada tahapan-tahapan untuk menyegel seperti surat peringatan satu, dua dan tiga sampai akhirnya disegel. Semua tahapan-tahapan itu tidak ada. Bahkan surat perintah penyegelan pun tidak kami terima. Kami hanya menerima surat tugas. Itu yang harusnya dilakukan ketika melakukan penyegelan,” kata Farid.

Sesungguhnya, ini bukan kali pertama masjid Ahmadiyah di Depok disegel. Penyegelan-penyegelan sebelumnya tahun 2012 dua kali, tahun 2014 dua kali, tahun 2015 dan 2016 masing-masing satu kali, dan terakhir 23 Februari 2017.

Berkali-kali disegel, berkali-kali pula jemaat Ahmadiyah nekat membongkar segel itu.

Kata Farid, berbagai upaya telah dilakukan agar masjidnya bebas dari penolakan dan penyegelan berulang.

Misalnya, berdialog dengan sejumlah kelompok masyarakat di Depok seperti pengurus RT-RW sekitar masjid, Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi, sial karena belum membuahkan hasil.

“Kami memang tidak bisa lebih dari melalukan upaya-upaya kemanusiaan. Pendekatan-pendekatan kepada beberapa tokoh, pejabat pemerintah dan beberapa masyarakat yang berpengaruh. Itu saja yang kami lakukan. Oleh karena itu penjelasan tentang apakah Ahmadiyah itu sebenarnya harus disampaikan kepada mereka. Seperti yang kami lakukan kepada pengurus PCNU. Insyaallah ini satu waktu yang memang harus ditunggu. Karena untuk mendewasakan masyarakat dengan perbedaannya, dengan hal-hal yang mungkin dianggap lain,” kata Farid.

Jumlah jemaat Ahmadiyah di Depok sekitar 500 orang. Dia pun berharap hak konstitusional untuk beribadah di masjid sendiri diberikan. Apalagi sudah ada rekomendasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

“Intinya bahwa plang segel ini harus dibuka oleh pemerintah kota depok dan melanggar konstitusi. Terakhir ada rekomendasi keluar dari Komnas Perempuan yang selaras dengan apa yang disampaikan oleh Komnas HAM. Jadi itulah posisi dari pemerintah pusat,” kata Farid.

Menanggapi persoalan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, mengatakan pihaknya tak bisa ikut campur. Kata dia, itu kewenangan daerah.

“Tentu saya tidak boleh mencampuri kewenangan pemerintah daerah. Karena itu otonomi mereka. Bagaimanapun juga sebaiknya dilakukan cara-cara yang persuasif kepada pemerintah darah setempat. Untuk bagaimana dicarikan titik temu. Saya berharap mudah-mudahan ini bisa diselesaikan. Mungkin harus ada sesuatu yang harus diperjelas terlebih dahulu apa alasan pemerintah daerah melakukan penyegalan itu. Itu kan bisa positif dalam rangka proteksi jemaat itu sendiri dari ancaman luar yang mudharatnya lebih besar. Bisa juga seperti itu atau ada alasan lain yang tentu ini perlu didalami terlebih dahulu,” kata Lukman.

Tak bisa berharap banyak pada pemerintah pusat, jemaat Ahmadiyah berencana menggugat keputusan penyegelan oleh Pemkot Depok. Gugatan akan dilayangkan oleh Yayasan Satu Keadilan (YSK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengacara dari YSK, Fatiatulo Lazira, mengatakan masih menyusun draft gugatannya dan akan didaftarkan dalam dua pekan mendatang.

“Ini kan penggugat Yayasan Satu Keadilan sebagai satu organisasi. Tergugatnya nanti salah satunya Wali Kota Depok dan Kemendagri. Kami juga akan tarik beberapa pihak yang mengeluarkan SKB soal Ahmdiyah yakni Menteri Agama. Karena SKB itu yang sering dijadikan alasan Wali Kota Depok untuk menyegel rumah ibadah teman-teman JAI. Kita gugat perbuatan hukum oleh penguasa. Itu kan gugatan perdata. Mengapa kami anggap ini ada unsur melawan hukumnya karena satu; urusan agama itu kewenangannya di Pemerintah Pusat bukan Pemerintah Daerah. Kemudian rujukan-rujukan yang selama ini digunakan oleh Wali Kota Depok untuk melakukan penyegalan itu merupakan aturan yang diskriminatif. Dari segi hirarki perundang-undangan itu bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Fati.

Pasca disegel, jemaat Ahmadiyah melaksanakan shalat lima waktu dan taraweh Ramadan di halaman belakang masjid.

Sementara mengenai pelaksanaan shalat Idul Fitri, kata Yendra Budiana, Ketua JAI Depok, belum tahu akan dilaksanakan dimana. Sebab, halaman belakang masjid tak bisa menampung 500-an jemaat Ahmadiyah yang berada di Depok.

“Kalau beribadah sih kita normal. Namun tempatnya di halaman belakang Masjid. Salat lima waktu dan taraweh di sana. Kemudian sore-sore kita mempunyai program untuk bagi takjil kepada masyarakat yang lewat di depan masjid sebanyak seratus bungkus. Kalau kami bisa sampaikan sih sebetulnya pasti menangis sama Allah SWT karena kita begitu ingin ibadah di bulan suci ini. Mengapa untuk beribadah saja sulit sekali. Tapi mau bagaimana lagi kita berserah diri saja kepada Allah SWT,” kata Yendra.

Penulis: Gilang Ramadhan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas