Mengacu Aturan MK, Rekaman Setya Novanto Soal Pembicaraan E-KTP Tidak Bisa Dijadikan Alat Bukti
"Harusnya mengacu keputusan MK, alat bukti tidak terpenuhi jadi alat bukti,"
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Adiatmaputra Fajar Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil sadapan yang dilakukan di luar penegak hukum tidak bisa dijadikan alat bukti.
Hal tersebut berdasar putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 terkait permohonan yang diajukan Setya Novanto.
Dalam keputusan tersebut dijelaskan aturan penyadapan konstitusional sepanjang dimaknai atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Anggota Komisi III DPR RI Jazilul Fawaid menilai aturan penyadapan harus merujuk terhadap putusan MK.
Karena itu, Jazilul berpendapat rekaman Setya Novanto dalam kasus e-KTP tidak bisa dijadikan alat bukti
"Harusnya mengacu keputusan MK, alat bukti tidak terpenuhi jadi alat bukti," ujar Jazilul di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Menurut Jazilul rekaman percakapan Novanto disadap pengusaha Johanes Marliem.
Hal itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena putusan MK hanya memberikan wewenang penyadapan kepada aparat penegak hukum saja.
"Karena dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab," ungkap Jazilul.
Politikus PKB itu menegaskan putusan MK harus dilaksanakan.
Agar rekaman bisa jadi alat bukti, Jazilul menyarankan ada hukum acara yang sesuai dengan kebutuhan penyelidikan.
"Aturan MK harus dikedepankan itu, tetapi harus ada hukum acara yang lain menyatakan bahwa sebagai alat bukti, toh sadapan-sadapan itu terjadi," kata Jazilul.