Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MUI dan KPI Siapkan Aturan Bersama untuk Penceramah Agama di TV, Minimal Pernah Ikuti Pelatihan

Ketua Komisi Dakwah MUI ,Cholil Nafis, menjelaskan dalam pedoman bersama dengan KPI diatur juga kriteria penceramah yang bisa tampil di televisi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in MUI dan KPI Siapkan Aturan Bersama untuk Penceramah Agama di TV, Minimal Pernah Ikuti Pelatihan
JUNI KRISWANTO / Stringer/Getty Images
Pedoman bersama dengan KPI diatur juga kriteria penceramah yang bisa tampil di televisi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah penceramah agama Islam yang tampil dalam program religi di televisi swasta dikritik karena dianggap menyampaikan materi yang dianggap 'tidak tepat'.

Untuk menangani masalah itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah menyiapkan pedoman bagi para penceramah dan televisi yang menghadirkan ustad atau ustadzah.

Ketua Komisi Dakwah MUI ,Cholil Nafis, menjelaskan dalam pedoman bersama dengan KPI diatur juga kriteria penceramah yang bisa tampil di televisi.

"Yang ngisi di TV itu minimal udah pernah mengikuti pelatihan atau pernah mengikuti standarisasi bisa tampil di televisi, karena frekuensi itu kan hak publik, nggak semua orang dapat menggunakan frekuensi yang terbatas itu. Kita mesti memfasilitasi publik bagaimana mereka mendapatkan haknya terhadap frekuensi yang terbatas itu," kata dia.

Kriteria tersebut, menurut Cholil, akan berpatokan pada Pedoman Dakwah yang dikeluarkan oleh MUI pada Juni lalu.

Baca: Dhani Minta Warga Maklumi Ceramah Ustaz Syam soal Pesta Seks di Surga, Netizen Murka

Pedoman MUI itu menyebutkan seseorang yang menyampaikan dakwah secara umum bukan hanya di televisi memiliki wawasan yang luas.

Berita Rekomendasi

"Misalnya bicara tentang khilafiyah harus dari berbagai pandangan, dan jadi orang yang nanti akan memilih, tapi tidak boleh juga mencaci pilihan seseorang, " kata Cholil.

Nantinya juga akan dibentuk Dewan Etik Da'i yang akan melakukan sidang terhadap pada da'i yang materi ceramahnya mendapat protes atau kritik dari masyarakat.

MUI, menurut Cholil, hanya memperhatikan masalah konten, sementara KPI berwenang memberikan tindakan pada lembaga penyiaran.

"Dari aturan KPI kan mengikat. KPI bisa mencabut, menegur, KPI bisa melakukan tindakan untuk memberi sanksi terhadap pengelola. Nah MUI dapat men-support dari sisi konten, pembinaan terhadap para pengisi di televisi itu."

"Yang mengerti tentang standar agama kan MUI, dapat memberikan standar yang tidak standar, agar acara televisi di radio dan televisi itu lebih baik dan yang ditampilkan kredibel dan kompeten," kata Cholil.

Pembahasan tentang pedoman itu dilakukan setelah kasus ustad yang menyampaikan tentang 'adanya pesta seks di surga' beberapa pekan lalu dalam acara 'Islam Itu Indah' di Trans TV yang mengundang kecaman di media sosial.

Acara religi yang sama kembali menjadi sorotan setelah seorang penceramah, Febri Sugianto, mengungkapkan perempuan yang menggunakan 'pembalut dan hak tinggi' akan sulit punya anak karena pembalut akan "mengembalikan bakteri jahat ke dalam rahim."

Untuk kasus terakhir, KPI menyatakan telah mengkaji tayangan tersebut dan akan mengeluarkan keputusan pada Rabu (09/08).

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, mengatakan pedoman itu akan mengatur agar materi ceramah di televisi tidak menimbulkan kontroversi. Salah satunya penceramah yang menyebut 'adanya pesta seks di surga'.

"Kita punya wacana ke depan untuk menertibkan hal seperti ini dengan menggandeng MUI dan Kemenag terutama tentang substansi dari dakwah itu sendiri. Kalau KPI sendirian tidak sesuai dengan tafsir yang benar itu akan jadi resisten. Indonesia kan sangat plural, bisa jadi satu tafsir bisa berbeda dari kelompok masyarakat. Kita tak ingin melakukan teguran atau penghentian sementara, namun nanti malah muncul reaksi lagi dari masyarakat," kata Dewi.

Selama ini, menurut Dewi, KPI mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dalam mengkaji kelayakan siaran televisi.

"Kita memang sejauh ini yang jadi acuan itu adalah bagian penting dari ceramah atau dakwah, tetapi pada kenyataannya ada hal-hal lain yang jadi offside jadi permasalahan tersendiri. Itu kan masuk ke wilayah norma ya, tidak ada perbandingan agama dan lain sebagainya. Hal-hal ini sebenarnya belum diatur," jelas Dewi merujuk pada kasus penceramah yang menyebut 'adanya pesta seks di surga'.

Dalam Standar Program Siaran P3SPS tahun 2012 pasal 7 huruf (a); tidak berisi serangan, penghinaan dan/atau pelecehan terhadap pandangan dan dan keyakinan antar atau dalam agama tertentu serta menghargai etika hubungan antarumat beragama; (b) menyajikan muatan yang berisi perbedaan pandangan/paham dalam agama tertentu secara berhati-hati, berimbang, tidak berpihak, dengan narasumber yang kompeten dan dapat dipertanggungjawabkan. (c) tidak menyajikan perbandingan agama; dan (d) tidak menyajikan alasan perpindahan agama seseorang atau sekelompok orang.
Materi dan hiburan

Produser eksekutif program religi di stasiun televisi Indosiar, Budi Joko enggan mengomentari rencana MUI dan KPI tersebut. Namun, dia bisa memahami bahwa pemilihan penceramah di televisi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kontroversi.

"Secara umum sebenarnya, (program siaran religi) lebih pada memperdalam atau memperkaya belajar agama Islam. Pertama, karena kapabilitas, mamah (Dedeh) punya jamaah yang banyak. Penonton TV kan tidak hanya butuh pengetahuan tapi butuh entertainment dan mamah punya itu. Selain menjelaskan (dari sisi) keilmuannya, dia juga bisa menjelaskannya dengan tidak kaku," jelas Budi.

Budi mengakui sangat terbuka terhadap kritik dan pernah mendapatkan kritik terkait konten ceramah Mamah Dedeh, tetapi bisa diselesaikan dengan dialog.

"Jadi setelah itu dalam episode lain ada penjelasan yang lebih luas terkait materi tersebut," jelas Budi.

Pada awal Agustus ini, Mamah dan Aa Beraksi yang menjadi salah satu acara religi unggulan di stasiun televisi Indosiar menjadi sorotan pengguna media sosial. Acara yang menampilkan penceramah utama Dedeh Rosidah yang dikenal dengan sebutan Mamah Dedeh itu dikritik sejumlah dokter hewan.

Mereka keberatan dengan ucapan Mamah Dedeh yang menyebut bahwa orang Muslim dilarang menjadi dokter hewan. Ucapan itu dilontarkan ketika menjawab pertanyaan seorang jemaah tentang profesi dokter yang melakukan operasi kepada anjing.

Belakangan, dalam pertemuan dengan Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Rabu (03/08) lalu, Mamah Dedeh menyampaikan permintaan maaf.

"Yang ditanya dan ditanya sama-sama orang awam...Saya mohon maaf dan mengambil hikmah yang sangat besar. Alhamdulillah Anda-Anda berkenan datang ke rumah saya. Tidak mustahil saya membutuhkan wejangan dari Anda, bagaimana saya melangkah, barangkali Anda ada kritik, saya sangat terbuka orangnya, barangkali ada kalimat saya yang salah tolonglah kritik ke saya," kata Mamah Dedeh.
Standarisasi penceramah

Bercermin dari beragam kontroversi yang timbul dari ceramah-ceramah agama, Ketua Komisi Dakwah MUI ,Cholil Nafis,menjelaskan perlunya standarisasi para penceramah yang dapat memberikan materi di tingkat lokal, nasional ataupun internasional.

"Umpamanya ada da'i pada tingkatan dasar. Mungkin dia hanya bacaannya fasih, akidah lurus, dia mengerti dengan kondisi yang pas dengan masyarakat, itu tingkatan basic lokal."

"Pada tingkatan nasional, dia sudah mengerti paradigma yang lebih luas, hubungan agama dengan negara, sosial, ekonomi, dan mengetahui tentang variasi perbedaan paham dalam keagamaan kita, mana paham yang bisa ditolerir atau bukan, ada yang termasuk dalam penyimpangan," kata Cholil.

Untuk internasional, para da'i diharapkan menguasai bahasa Inggris dan pengetahuan global. Selain itu, MUI juga akan membuat kurikulum dan peta dakwah agar para da'i bisa mengetahui karakteristik dan menyesuaikan materi untuk pendengarnya.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas