Uang Suap Wali Kota Tegal Ditemukan di Posko Pemenangan
Uang sebanyak Rp5,1 miliar tersebut diduga dikumpulkan pasangan calon tersebut untuk pembiayaan pemenangan pilkada pada 2018.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Malvyandie Haryadi
"AMH ini tangan kananya (Siti Masitha). Dia bisa melakukan penekanan kepada kepala dinas dan bisa menagih kepada kontraktor yang lain," jelas Agus.
Diketahui, Amir Mirza Hutagalung selain menjadi Ketua DPD Partai Nasdem Kota Tegal, dia juga pengusaha perusahaan jasa transportasi.
Amir Mirza sempat maju menjadi calon Wakil Walikota Medan berpasangan dengan Joko Susilo pada 2010.
Gagal menjadi orang nomor dua di Medan, Amir Mirza mencoba peruntungan menjadi calon Walikota Padangsidempuan berpasangan dengan Nurwin Nasution pada 2012.
Gagal dalam dua kali pemilihan kepala daerah, Amir Mirza menjadi Ketua Tim Sukses pasangan Siti Masitha-Nur Sholeh pada Pilkada Kota Tegal pada 2013 lalu.
Setelah calon yang didukung terpilih dan menjabat sebagai kepala daerah Kota Tegal, Amir Mirza kembali mencoba peruntungan berduet dengan Siti Masitha sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Tegal pada pilkada 2018 mendatang.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Siti Masitha dan Amir Mirza sebagai tersangka penerima suap Rp5,1 miliar terkait pengelolaan dana jasa kesehatan di RSUD Kardinah dan fee atas sejumlah proyek di Pemerintahan Kota Tegal sepanjang Januari hingga Agustus 2017.
Sementara, Wakil Direktur RSUD Karindah Cahyo Supriadi ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap terkait pengelolaan dana jasa kesehatan di rumah sakit tersebut. Ketiganya ditahan di rutan terpisah.
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengingatkan atau "warning" para calon kepala daerah khususnya petahana agar tidak menggunakan cara-cara kotor seperti korupsi untuk modal pilkada serentak pada 2018 mendatang. Ia memastikan pihaknya akan mengawasi dan melakukan penangkapan jika hal itu terjadi.
"Calon petahana pasti sudah berstatus sebagai Penyelenggara Negara. Akan jadi urusan KPK jika dia ambil dana dari pihak manapun," tegas Basaria.
"Seharusnya pikada dapat menghasilkan pemimpin yang punya komitmen. Jika dia tidak memberantas korupsi, paling tidak tidak korupsi. Itu yang jadi perhatian KPK," imbuhnya.
Basaria yang merupakan perempuan jenderal bitang dua di Polri ini mengaku di satu sisi bangga dan senang ada banyak perempuan duduk sebagai kepala daerah di wilayah Jawa Tengah. Namun, di sisi lain ia kecewa karena ada lagi kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Apalagi, belum lama ini pihak KPK baru saja melaksanakan program pencegahan "Saya Perempuan Anti-Korupsi" atau SPAK di provinsi Jateng lantaran ada beberapa kepala daerah perempuan yang juga terjerembab kasus korupsi.
"(Semula) KPK ingin program ini diterapkan oleh kepala daerah yang kebetulan perempuan lebih bersih dan serius memberantas korupsi. Ada kekecewaan," ucap Basaria.
"Sebenarnya kami tidak ingin ada OTT, tindakan represif. Tapi terpaksa kalau memang itu dilakukan, mau tidak mau dilakukan tindakan represif," tandasnya.