Ini Tanggapan KPK Soal Usulan Penuntutan Harus Izin Kejagung
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif angkat bicara soal pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif angkat bicara soal pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Prasetyo mencatat, lembaga pemberantasan korupsi di Malaysia dan Singapura hanya terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Dia menilai, pola seperti ini, mampu menciptakan pemberantasan korupsi yang cukup efektif. Hal itu bisa dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Malaysia dan Singapura pada tahun 2016.
Namun Syarif mengatakan soal fungsi dan kewenangan penuntutan tidak berdampak pada IPK suatu negara.
"Untuk sementara kami kan bekerja sesuai UU KPK yang berlangsung. Kami tidak bisa berandai-andai ke depan. Selama UU seperti itu dan kami berterima kasih terus ke Kejagung yang selalu mengirimkan jaksa bertugas di KPK," kata Syarif kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Senin (11/9/2017).
Menurutnya, soal fungsi dan kewenangan penuntutan tidak berdampak pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) suatu negara.
"Itu tidak ada hubungannya dengan IPK. Indeks persepsi korupsi itu tidak ditentukan dengan digabungkan penyidikan dan penuntutan, itu kualitas pelayanan publik di Indonesia," ujarnya.
Syarif kemudian menjelaskan lembaga pemberantasan korupsi di negara Singapura dan Malaysia.
"Singapura itu bukan karena dipisah itu, bahkan di Malaysian Anti Corruption Commission, tu ada perwakilan jaksa. Nanti ketika MAK Malaysia mulai menyidik Perdana Menteri sekarang, maka wakil jaksa itu ditarik. Ada juga contoh lain yang digabung antara penyidik dan penuntutannya. SFO di New Zealand. Dia IPK-nya top ten," kata Syarif.
Sebelumnya, Jaksa Agung mengatakan Capaian Malaysia dan Singapura ini berbeda dengan yang diperoleh Indonesia.
Prasetyo menjelaskan, operasi tangkap tangan yang menjadi andalan KPK, ternyata tidak membuat IPK Indonesia meningkat.
"Meskipun penindakan kasus korupsi melalui OTT yang dilaksanakan di negara kita yang terasa gaduh dan hingar bingar, namun IPK Indonesia beberapa tahun belakangan ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan," katanya.
"Dan, pada 2016, Indonesia hanya dapat peringat skor 37 dengan peringkat 90 dari sejumlah negara yang sama yang disurvei baik untuk Malaysia ataupun untuk Singapura," tambahnya.
Prasetyo kemudian menerangkan kerja Kejaksan yang ada di Malaysia dan Singapura. Kejaksaan di kedua negara ini, kata Prasetyo, merupakan institusi yang berwenang untuk menentukan dapat-tidaknya suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Aturan ini, katanya, merupakan perwujudan universal sistem penuntutan tinggal yang berlaku di setiap negara
"Mereka bahkan sampaikan ke kita bahwa lembaga apapun atau institusi apapun yang diberi kewenangan luar biasa besar tanpa batas dan tanpa kontrol cenderung sewenang-sewenang, dan merasa benar sendiri, dan merasa tidak dapat disentuh, dan tidak boleh dipersalahkan. ini disampaikan ke mereka," kata Prasetyo.
Dirinya kemudian membandingkan dengan undang-undang yang ada di Indonesia. Dalam undang-undang nomor 16 tahun 24 tentang Kejaksaan, dinyatakan bahwa Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi. Namun, dengan adanya undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK maka ketentuan tersebut tidak sepenuhnya berlaku.
"Dan perlu diketahui, baik di Malaysia maupun Singapura, praktik penegakan hukum berjalan harmonis, tidak saling bersaing apalagi menjatuhkan," katanya.
"Sudah saatnya dan selayaknya semua pihak kita menyimak praktik penegakan hukum pemcegahan di kedua negara tetangga itu yang dalam jangka panjang akan lebih berhasil efektif dan efisien dilakukan melalui pencegahan Meskipun penegakan pencegahan tidak banyak popular, tidak banyak dilihat, karena jauh dari hiruk pikuk," tambahnya.