KPK dan KY Diminta Awasi Hakim Praperadilan Setya Novanto
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho meminta KPK dan Komisi Yudisial mengawasi hakim praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho meminta KPK dan Komisi Yudisial mengawasi hakim praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.
Hal itu dikatakan Emerson dalam keterangan tertulis, Selasa (26/9/2017) menyikapi rencana pembacaan putusan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto.
"KPK dan Komisi Yudisial sebaiknya awasi secara ketat hakim praperadilan karena potensi hakim melakukan penyimpangan saat ini sangat mungkin," kata Emerson dalam keterangan tertulis, Selaa (26/9/2017).
Baca: Jadi Tersangka KPK, Rita Widyasari Jawab Isu Ditahan Lewat WhatsApp
Emerson mengingatkan bahwa suap tidak mesti harus dalam bentuk uang.
Namun memberikan janji-janji khusus juga bisa masuk kategori korupsi.
"Apalagi sudah ada 16 hakim yang pernah tersangkut kasus suap dan telah diproses oleh KPK," kata Emerson.
Sementara, Akademisi Abdul Fickar Hadjar mengatakan praperadilan merupakan forum untuk menguji prodedur penerapan upaya paksa.
Contohnya penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyudikan dan penetapan tersangka.
"Menurut UU KORUPSI No.31/1999 jo KUHAP jo putusan MK, penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, dan bukti permulaan yang cukup adalah minimal dua alat bukti," kata Fickar.
Kemudian pasal 184 KUHAP alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat/dokumen, keterangan tersangka dan petunjuk.
Baca: Ini Sosok Bupati Cantik Rita Widyasari, Sempat Masuk 70 Tokoh Berpengaruh di Indonesia
"Dalam konteks barang bukti yang diajukan KPK sejumlah 193, jika itu semua merupakan dokumen / surat, maka masih harus ditambah lagi keterangan saksi atau keterangan ahli. Bukti-bukti ini kebih dari cukup karena melebihi dari yang dipersyaratkan UU," ujarnya.
Fickar menuturkan praperadilan tidak menilai substansi atau kualitas alat bukti, karena itu merupakan kewenangan sidang pokok perkaranya.
"Sedangkan bukti LHP BPK yang berupa draft merupakan bukti surat, jika bukti surat itu dimaksudkan untuk menjelaskan tidak ada kerugian negara, maka ini bukti prematur belum waktunya diajukan krn itu kewenangan persidangan pokok perkara," kata Fickar.
"Apalagi bukti tersebut hanya draft dan tidak punya kewenangan memiliki bukti tersebut, dan didapatkan dengan cara melanggar hukum karenanya bukti itu harus dikesampingkan dan tidak memiliki nilai pembuktian," katanya