Panglima yang Pimpin Perang dalam Kondisi Sakit, dan Tak Pernah Absen Shalat
Minggu, 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II membuat Kota Yogyakarta yang semula tenang berubah tegang.
Adapun keluarga Soedirman diungsikan ke benteng keraton.
"Setelah itu, Pak Dirman pulang kembali ke Bintaran dan segera membuat keputusan," jelas Abu Arifin.
Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan menyingkir dari Yogyakarta dan menerapkan taktik perang gerilya.
Dengan keterbatasan senjata yang dimiliki, gerilya adalah strategi perang yang cukup efektif.
Mereka bisa sembunyi di hutan sambil menunggu kesempatan menyerang musuh secara tiba-tiba.
Lalu kembali lagi ke hutan menyusun serangan berikutnya.
Soedirman yang dikawal segelintir prajurit menumpang mobil sedan keluar Yogyakarta.
Jalur selatan melalui pantai dipilihnya untuk mengawali perjalanan perang.
Rute gerilya disepakati dengan tujuan akhir Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur.
Di sana, anak buah Soedirman telah menyiapkan markas lengkap dengan pemancar radio.
Melalui pemancar itu, Panglima Besar akan mengirimkan komando ke seluruh prajurit TNI.
Belum jauh melangkah, perjalanan mereka tersendat.
Mobil tak bisa menyeberang sungai besar di dekat Pantai Parangtritis karena tiada jembatan penyeberangan.
Rombongan lantas meninggalkan kendaraan di tepi muara lalu menyeberangi sungai hati-hati.