Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Panglima yang Pimpin Perang dalam Kondisi Sakit, dan Tak Pernah Absen Shalat

Minggu, 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II membuat Kota Yogyakarta yang semula tenang berubah tegang.

zoom-in Panglima yang Pimpin Perang dalam Kondisi Sakit, dan Tak Pernah Absen Shalat
TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKKI
Mayor Purn Abu Arifin, ajudan II Jenderal Soedirman, di kediamannya di Kecamatan Padamara, Purbalingga, Jumat (6/10/2017). 

"Kondisi kesehatan Pak Dirman sempat dicek oleh dokter pribadi. Saat itu kondisinya masih sama dengan saat di Bintaran," papar Abu Arifin yang lahir di Klampok, 19 Januari 1921, tersebut.

Lepas dari kendaraan bermesin, Soedirman ditandu beberapa warga.

Para pengawal mengiringi penandu dengan menenteng senjata.

Tandu berbahan bambu itu telah dipersiapkan penduduk desa sebagai angkutan alternatif Soedirman selama bergerilya.

Jika tandu itu rusak, penduduk desa lain telah menyiapkan penggantinya.

"Jadi tandu Pak Dirman bukan hanya satu. Jika rusak, sudah ada rakyat yang menyediakan lagi," imbuhnya.

Perjalanan Jenderal Soedirman sampai ke Kediri begitu berat.

BERITA REKOMENDASI

Selain menghadapi musuh yang setiap saat mengintai, mereka harus berjuang melawan lapar.

Menurut Abu Arifin, pengawal Panglima Besar tak membawa bekal apa pun terkecuali senjata dan pakaian yang melekat di tubuh.

Seluruh perlengkapan telah dibakar di Bintaran untuk menghapus jejak.

Terlebih rute gerilya yang dipilih sangat menyulitkan.

Jalur selatan melewati Gunungkidul terkenal tandus.

Penduduk yang menghuni wilayah itu sering dilanda kekurangan pangan.

Padahal untuk bertahan hidup, pasukan ini bergantung dari bantuan rakyat yang mengirim bekal makanan.

Akibatnya, Soedirman dan pasukannya lebih menderita karena sering tak makan hingga berhari-hari.

Kalau ada buah-buahan atau binatang yang ditemui di hutan, mereka menyantapya demi bertahan hidup.

"Tentu ada pertolongan dari Allah sehingga kami bisa tetap bertahan hidup dan kuat melawan musuh," jelas Abu Arifin.

Dia merasa terkesan karena Panglima Besar tetap tegar meski harus melawan cuaca ekstrem yang tak baik bagi kesehatannya.

Kondisi hutan juga tak nyaman ditinggali.

Tubuh panglima yang seharusnya diberi asupan gizi khusus harus menahan lapar berkepanjangan.

Kondisi kesehatan Soedirman terus menurun.

Satu hal yang membuat Abu heran, dalam kondisi demikian, Soedirman justru menawari anak buahnya pulang ke Yogyakarta kalau tak lagi kuat menanggung ujian.

"Jelas tidak ada yang mengambil tawaran itu. Kami tetap setia pada Panglima sampai mati," tandasnya.

Meski garang di hadapan musuh, Soedirman mengakui kelemahannya di hadapan Yang Maha Kuasa.

Dia tak pernah absen menjalankan perintah agama meski keadaan darurat sekalipun.

Saat tiba waktu shalat di dalam hutan, dia biasa mencari embun yang menempel di dedaunan untuk menyucikan diri.

Panglima Besar lantas khusyuk menghadap Tuhan dalam posisi duduk karena tak kuasa berdiri.

Tujuh bulan lamanya perjalanan gerilya itu ditempuh dengan niat mulia mempertahankan kemerdekaan Tanah Air.

"Jangan bangga jika Anda perang pakai senjata lengkap dan panglima yang bugar. Panglima kami sakit parah, senjata kami kurang, tapi kami pantang mundur melawan penjajah," tandas Abu Arifin. (*)
 

Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas