Soal Pemanggilan Pejabat Terkait Kasus, Jaksa Agung: Kami Selalu Ikut Aturan
Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan institusi yang ia pimpin siap melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan institusi yang ia pimpin siap melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Bahkan Prasetyo memastikan kejaksaan bisa bekerja lebih baik daripada aparatur penegak hukum lainnya termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bila diberikan kewenangan dan hak yang sama.
Baca: Begini Rekam Jejak Khofifah Indar Parawansa yang Jadi Lawan Gus Ipul di Pilgub Jatim
"Kami, Kejaksaan, dalam hal ini (memberantas korupsi) bisa lebih baik dari penegak hukum lainnya bila diberi kesetaraan kewenangan," kata Prasetyo dalam rapat gabungan Kejaksaan, Polri, Kemenkum HAM dan KPK bersama Komisi III DPR RI untuk mengevaluasi 15 Tahun penanganan perkara korupsi, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (16/10/2017).
Dalam kesempatan itu, Prasetyo menegaskan pihaknya selalu bekerja sesuai koridor hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ia memberi contoh dalam memanggil atau memeriksa seorang pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana, Kejaksaan dipastikan akan mengikuti mekanisme serta mentaati hukum, perundang-undangan serta peraturan yang berlaku, agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Jika ingin memanggil atau memeriksa pejabat negara seperti anggota DPR RI, kami lakukan sesuai dengan UU yang berlaku", tegas Prasetyo.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU XII/2014, Mahkamah Konstitusi telah merekonstruksi mekanisme pemeriksaan Anggota DPR,MPR,DPD dan DPRD yang sebelumnya dimuat dalam UU MD3.
Semula, berdasarkan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Mahkamah Kontitusi kemudian membuat keputusan bahwasanya pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme "izin MKD" menjadi "izin Presiden".