''Di Swecapura, Kami Dapat Saksikan Bencana Bukanlah Melulu Penderitaan''
Siang sedikit hujan turun, tirainya menutupi pemandangan ke gunung. Terkadang, awan akan berkolaborasi dengan abu yang keluar
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
Beranjak ke bagian dalam GOR, pengungsi ganti mendominasi pemandangan. Mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang tiduran, menonton televisi, dan bersendau-gurau.
Di antara kesibukan itu, seorang ibu tampak asyik menganyam kerajinan tangan dari bambu.
Sedikit berbeda adalah sekumpulan anak-anak yang sedang bernyanyi dengan riang ditemani seorang wisatawan manca negara. Mereka terlihat begitu senang, tak terlihat lagi batas-batas ras yang berbeda. Semuanya telah menyatu dalam tawa kemanusiaan.
Tak lama kemudian, masuklah dua orang lagi wisatawan dari Bulgaria Diana (45) dan Diana (21). Mereka adalah ibu dan anak yang sedang mengunjungi Ubud.
“Seorang pekerja di hotel yang kami tempati bilang kalau dia tinggal di sini," kata Diana yang lebih muda.
“Kami pun tertarik untuk datang dan melihat, siapa tahu ada hal yang bisa kami lakukan” timpalnya kemudian.
Ibu dan anak itu kemudian menyapa anak-anak yang semula bernyanyi. Tak hanya itu, keduanya kemudian membaur di antara pengungsi yang berada di lapangan olah raga di bagian bawah GOR.
Mereka berjalan berkeliling sambil menyapa. Seringkali mereka berhenti untuk sekadar berbincang. Kerapkali pula mereka berhenti dan memeluk para pengungsi. Sebuah pemandangan yang sangat mengharukan dari manusia yang berbeda latar belakang dan budaya.
Berpelukan dengan orang asing bukanlah budaya kita. Namun, Diana dan Diana mengabaikan hal itu. Tanpa ragu, mereka memeluk pengungsi, mendekap erat, terkadang sambil menepuk-nepuk punggung para pengungsi dengan lembut.
“Kenapa kamu suka memeluk?” Tanya kami kepada Diana yang lebih tua.
“Inilah kemanusiaan, inilah sesungguhnya kita.” Jawab Diana sambil memeluk seorang gadis kecil Made Sulastri yang berusia sepuluh tahun dengan erat.
"Di Swecapura, kami dapat menyaksikan bahwa bencana bukanlah melulu penderitaan. Di sana, sekat-sekat perbedaan antar manusia melebur menjadi pelukan di antara bangsa yang berbeda dan tak saling kenal. Inilah sejatinya pelukan kemanusiaan yang mewujud nyata," kata Sutopo. (*)