Jaksa KPK: Audit BPKP Dapat Menjadi Alat Bukti Kasus e-KTP
(JPU) pada KPK menegaskan audit BPKP dapat menjadi alat bukti yang sah untuk membuktikan perbuatan terdakwa Setya Novanto.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menegaskan audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dapat menjadi alat bukti yang sah untuk membuktikan perbuatan terdakwa Setya Novanto.
Pernyataan itu disampaikan saat membacakan tanggapan terhadap eksepsi atau keberatan terdakwa korupsi proyek pengadaan e-KTP, Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/12/2017).
"Hasil perhitungan kerugian keuangan negara yang dihitung auditor pada BPKP telah diterima atau menjadi best practice pada praktek peradilan tipikor. Merujuk padaketentuan dan best practice, maka audit BPKP dalam perkara aquo dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan perbuatan terdakwa," tutur Jaksa pada KPK Kamis (28/12/2017).
Baca: Bukan Pengedar dan Dianggap Hanya Pemakai Narkoba, Tio Pakusadewo Akan Direhabilitasi
Jaksa pada KPK tidak memberikan tanggapan secara panjang lebar, karena wewenang BPKP untuk itu telah diatur secara tegas dalam Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang BPKP pasal 3 huruf (b) yang pada pokoknya memberikan wewenang kepada BPKP.
Wewenang kepada BPKP itu diantaranya audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli dan upaya pencegahan korupsi.
Ketentuan itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 atas nama pemohon Eddi Widiono Suwondo.
Salah satu pertimbangannya adalah "KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau denga meminta bahan dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya".
"Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dapat disimpulkan dalil-dalil penasehat hukum merupakan dalil yang tidak berdasar dan harus dikesampingkan," kata dia.
Sebelumnya, dalam sidang pembacaan nota keberatan Setya Novanto, tim penasehat hukum keberatan atas penetapan kerugian negara oleh BPKP. Penasehat hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, mengatakan hanya BPK yang memiliki kewenangan.
Maqdir merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan. Instansi lain, seperti BPKP dan SPKD lainnya, meski mempunyai kemampuan audit, tidak bisa menetapkan kerugian negara.