9 Kepala Daerah Berompi Oranye dan "Berkantor" di KPK Sepanjang 2017, Siapa Saja ?
Tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar melakukan penindakan dalam memberantas korupsi.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar melakukan penindakan dalam memberantas korupsi.
Sebagian besar yang menjadi target KPK ialah korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Setidaknya sejak Januari 2017 - September 2017, ada lima kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Alhasil mereka harus "pindah kantor" ke Kuningan, Jakarta Selatan.
Sementara pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebut ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK.
Baca: Ini Daftar Kasus Mangkrak di Polda Metro Jaya, Penyerangan Novel Sampai Dugaan Makar
Rinciannya 18 Gubernur dan 60 orang Wali kota atau Bupati dan Wakilnya.
Para kepala daerah ini, menyandang status tersangka karena terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan ada pula yang ditetapkan setelah kasus korupsinya diusut KPK ke tahap penyidikan.
Menyikapi banyaknya kepala daerah yang terseret dalam pusaran korupsi, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang berharap tahun 2018 kedepan, tidak ada lagi kepala daerah yang korupsi.
"Stop korupsi untuk 2018, sebab dengan prioritas pemerintah pada perumahan/pemukiman, dunia usaha, ketahanan pangan, ketahanan energi, infrastruktur dan pembangunan wilayah. Kalau itu dikorupsi, itu benar-benar kelewatan," papar Saut Situmorang pada Tribunnews.com, Jumat (22/12/2017).
Baca: Donasi Mahar Emas Nikah Massal Lampaui Target Senilai Rp 340,63 Juta
Saut Situmorang melanjutkan, sebenarnya selain melakukan penindakan pihaknya sudah melakukan upaya pencegahan hingga supervisi ke setiap provinsi dan Kota.
"Dengan segala hormat, KPK sebenarnya sudah pernah masuk ke setiap provinsi dan kota. Itu sebabnya harapannya mereka (para kepala daerah) mau lewat koordinasi supervisi pencegahan. KPK akan bantu kalau mereka akan berubah, namun kalau tidak ya kami penindakan," paparnya.
Catatan Tribunnews.com, setidaknya ada sembilan kepala daerah yang menyandang status tersangka, beberapa diantaranya ada juga yang sudah terdakwa dan menjalani sidang di Pengadilan Tipikor setempat.
Mirisnya, ada beberapa kepala daerah yang tidak hanya tersangka di satu kasus.
Beberapa diantaranya ada yang menjadi tersangka di dua kasus berbeda.
Teranyar, pada Kamis (23/11/2017) penyidik menetapkan Wali Kota Mojokerto, Masud Yunus (MY) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pembahasan perubahan APBD pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemerintah Kota Mojokerto tahun anggaran 2017.
Masud Yunus menjadi tersangka lantaran menyetujui Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Mojokerto, Wiwiet Febryanto (WF) memberikan sejumlah uang kepada pimpinan DPRD Kota Mojokerto.
Penetapan tersangka ini, merupakan pengembangan dari perkara suap yang lebih dulu menjerat Wiwiet dan tiga anggota DPRD Kota Mojokerto yakni Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani dan Umar Faruq.
Atas perbuatannya, Masud Yunus disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Meski tersangka, Masud Yunus pernah satu kali diperiksa sebagai tersangka pada 4 Desember 2017 namun hingga kini belum dilakukan penahanan pada yang bersangkutan.
Kedua, pada Jumat (15/12/2017) KPK menetapkan status tersangka pada Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman (TFR) atas dugaan menerima gratifikasi atau hadiah terkait jual beli jabatan di Pemerintahan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Penyidik menduga Taufiqurrahman telah menerima gratifikasi berupa uang sedikitnya senilai Rp 2 miliar dari rekanan kontraktor. Masing-masing rekanan memberikan uang Rp 1 miliar pada tahun 2005.
Selain uang, Taufiqurrahman juga diduga mendapat gratifikasi satu unit mobil Jeep Wrangler tahun 2012 berwarna abu-abu serta satu unit smart fortwo abu-abu tua. Gratifikasi ini berkaitan dengan mutasi, promosi jabatan dan fee sejumlah proyek dalam kurun waktu 2016 hingga 2017.
Sebelumnya, Taufiqurrahman sudah lebih dulu terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (25/11/2017) silam terkait suap terkait perekrutan dan pengelolaan ASN/PNS di Kab Nganjuk dari sejumlah pihak melalui orang kepercayaanya. Selain Taufiqurrahman penyidik juga mentersangkakan empat orang lainnya.
Mereka yakni Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Ngronggot Suwandi (SUW), Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Nganjuk Ibnu Hajar (IB), Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Mokhammad Bisri (MB) dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk Hariyanto (H).
Sebagai pihak pemberi Mokhammad Bisri dan Harjanto disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keduanya sudah dilakukan pelimpahan tahap dua dan tinggal menunggu waktu sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Sedangkan sebagai pihak penerima Taufiqurrahman, Ibnu Hajar, dan Suwandi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketiga, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari (RIW). Kasus ini sempat heboh karena di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, berhembus kabar KPK melakukan penangkapan terhadap Rita, Selasa (26/9/2017).
Namun kabar penangkapan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) dibantah oleh Ketua KPK, Agus Rahardjo. Agus menjelaskan, Rita ditetapkan tersangka atas kasus dugaan suap dan gratifikasi di Kukar.
Dalam kasus suap, Rita diduga menerima uang Rp 6 miliar pada Juli dan Agustus 2010 dari Henry Susanto Gun (HSG) selaku Dirut PT Sawit Golden Prima untuk memuluskan perizinan lokasi, keperluan inti dan plasma perkebunan sawit di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman kepada PT Sawit Golden Prima. Atas kasus ini, Rita ditahan di Rutan KPK, Gedung Merah Putih sementara Hendry Gun dititipkan penahanannya di Rutan Polres Jakarta Selatan.
Lanjut di kasus dugaan menerima gratifikasi, Rita bersama Khairudin (KH), Komisaris PT Media Bangun Bersama diduga menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yaitu uang sebesar 775 ribu dolar AS atau setara Rp 6,975 miliar.
Penerimaan ini berkaitan dengan sejumlah proyek di Kutai kartanegara selama masa jabatan tersangka. Atas kasus ini, Rita ditahan di Rutan KPK, Gedung Merah Putih sementara Khairudin ditahan di Rutan Guntur.
Keempat, melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jumat (22/9/2017) KPK menetapkan status tersangka pada Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi (TIA) atas kasus dugaan suap proses perizinan pembangunan Mall Transmart.
Selain Tubagus Iman, KPK juga menetapkan status tersangka pada lima orang lainnya. Mereka yakni Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP)/ Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Pemkot Cilegon Ahmad Dita Prawira; dan seorang bernama Hendry.
Direktur Utama PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT KIEC), Tubagus Donny Sugihmukti; Legal Manager PT KIEC Eka Wandoro dan Project Manager PT Brantas Abipraya, Bayu Dwinanto Utomo.
Berkas perkara Tubagus Donny Sugihmukti, Eka Wandoro dan Bayu Dwinanto telah dilimpahkan KPK ke tahap penuntutan dan menunggu jadwal sidang.
Dalam perkara ini, diduga Iman bersama Ahmad Dita Prawira telah menerima suap Rp1,5 miliar dari PT KIEC dan PT Brantas Abipraya untuk memuluskan proses perizinan Amdal Transmart yang akan dibangun di Lapangan Sumampir, Jalan Yasin Beji, Kebon Dalem, Kota Cilegon.
PT KIEC dan PT Brantas Abipraya bersama Tubagus Iman menyepakati untuk menyamarkan uang suap ini dalam bentuk dana CSR Cilegon United Football Club.
Kelima, Wali kota Batu, Eddy Rumpoko menjadi tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (17/9/2017) atas kasus suap belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu Tahun Anggaran 2017 senilai Rp 5,26 miliar yang dimenangkan PT Dailbana Prima.
Selain Eddy Rumpoko, KPK juga menetapkan status tersangka pada dua orang lainnya yakni Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemkot Batu, Edi Setyawan dan seorang pengusaha, Filipus Djap.
Filipus yang merupakan pemberi suap untuk Eddy Rumpoko dan Edi setyawan merupakan Direktur PT Dailbana Prima. Dalam kasus ini, Eddy Rumpoko diduga menerima suap Rp 500 juta atau sekitar 10 persen dari nilai proyek.
Suap untuk Eddy diberikan dua tahap, yang pertama Rp 300 juta dalam bentuk pelunasan mobil Toyota Alphard yang diduga miliknya dan sisanya Rp 200 juta dalam bentuk tunai.
Sementara Edi Setyawan menerima Rp 100 juta dari Filipus. Pemberian untuk setyawan diduga fee untuk panitia pengadaan pada proyek tersebut.
Atas perkara ini, Eddy Rumpoko sempat mengajukan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun kalah sehingga kasusnya tetap berlanjut.
Dalam perkara ini, Filipus Djap sudah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya sedangkan Eddy Rumpoko dan Edi Setyawan masih dalam proses penyidikan dan kelengkapan berkas di KPK.
Keenam pada Kamis 13 September 2017, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menetapkan Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnain sebagai tersangka karena menerima suap dari pengerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara.
Total uang yang diamankan KPK dari OTT tersebut senilai Rp 346 juta. Uang ini bagian dari fee beberapa proyek pekerjaan pembangunan infrastruktur di Batubara yang totalnya senilai Rp 4,4 miliar dari tiga proyek.
Selain OK Arya Zulkarnain, KPK juga menyematkan status tersangka pada Kepala Dinas PUPR Batubara Helman Herdady, Sujenti Tarsono alias Ayen (swasta), Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar, keduanya kontraktor.
Suap itu diduga diberikan Maringan dan syaiful Azhar dan dikumpulan OK Arya Zulkarnain melalui Sujendi. Selanjutnya, OK Arya Zulkarnain memerintahkan orang untuk mengambil uang suap dari Sujendi.
Ketujuh, ada Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno (SMS) yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Selasa 29 Agustus 2017 terkait kasus suap pengelolaan dana jasa kesehatan RSUD Kardinah Tegal.
Di kasus ini, selain Siti penyidik juga menetapkan dua tersangka lain yaitu Amir Mirza Hutagalung dan Wakil Direktur Keuangan RSUD kardinah, Cahyo Supardi.
Dari tiga tersangka, baru Cahyo yang kasusnya sudah disidangka di Pengadilan Tipikor Semarang. Menyusul Siti dan Amir Mirza berkasnya sudah lengkap dan dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Diperkirakan, tahun depan, Siti dan Amir Mirza akan menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Semarang. Sambil menunggu waktu sidang, Siti ditahan di Lapas kelas II Bulu Semarang kemudian Amir Mirza ditahan di Lapas Gedung Pane, Semarang.
Tidak hanya di kasus suap pengelolaan dana jasa kesehatan di RSUD Kardinah, Siti dan Amir Mirza juga tersangka di kasus suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Tegal tahun anggaran 2017.
Bahkan penyidik mensinyalir, Siti menerima setoran uang bulanan dari masing-masing Kepala Dinas. Total uang suap selama tujuh bulan senilai Rp 5,1 miliar diduga digunakan untuk modal Siti dan Amir Mirza maju dalam Pilkada Tegal 2018.
Kedelapan, ada Bupati Pamekasan, Achmad Syafii yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) usai mengikuti upacara penutupan program TNI Manunggal Membangun Desa di Desa Bukek, Kecamatan Tlanakan, Pemekasan pada Rabu 2 Agustus 2017.
Achmad Syafii menjadi tersangka di dugaan suap terkait penanganan kasus penyalahgunaan dana Desa Dassok yang ditangnai Kejari Pamekasan agar tidak naik ke tahap penyidikan dengan kesepakatan memberikan suap Rp 250 juta pada Kepala Kajari Pamekasan.
Selain Achmad Syafiin, status tersangka juga diberikan pada Kepala kejaksaan Negeri Pamekasan, Rudy Indra Prasetya dan tiga orang lainnya yaitu Inspektur Pemerintah Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi, dan Kabag Inspektur Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin.
Kesembilan, Gubernur Ridwan Mukti dan istri, Lily Martiani Maddari yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Selasa 20 Juni 2017 terkait suap proyek pembangunan TES-Muara Aman senilai Rp 37 miliar dan proyek pembangunan jalan Curuk Air Dingin senilai Rp 16 miliar di Kabupaten Rejang Lebong.
Selain pasutri diatas, dua tersangka lainnya yakni Bendahara DPD Partai Golkar Rico dian Sari yang juga pengusaha dan Direktur Utama PT Statika Mitra Sarana (SMS), yakni Jhoni Wijaya KPK menduga ada penerimaan hadiah atau janji terkait fee proyek sebesar Rp 4,7 miliar.
Para tersangka di kasus ini, sudah berstatus terdakwa dan kini menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Bengkulu.
Dari serangkaian penetapan tersangka pada kepala daerah, khususnya melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz berpendapat tahun 2017 ini penindakan KPK terus berproses.
"Secara kuantitas OTT KPK berjalan dan berproses. Kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah dengan variabel sangat beragam. Sehingga menurut saya kalau OTT, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Justru kasus e-KTP lah yang membuat berbeda dari penanganan kasus itu," ungkap Donal Fariz di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan.
Lebih lanjut, disinggung soal adanya tanggapan dari DPR mengenai KPK yang sibuk OTT lantas melupakan kasus besar, seperti Century. Menurut Donal Fariz, masalah korupsi adalah pekerjaan bersama para penegak hukum.
"Korupsi itu pekerjaan rumah bersama para penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan KPK. Saya bertanya kok DPR hanya tanya ke KPK soal Century? Kalau penilaian DPR susah melihat dari kaca mata obyektif. Saya melihat tidak ada DPR yang bertanya ke Bareskrim soal bagaimana kelanjutan kondensat yang kerugian negaranya besar, sampai sekarang tidak ada perkembangan. Politisi selalu melihat KPK dari pandangan negatif," tegas dia.
Donal Fariz menambahkan memang OTT lah yang membedakan KPK dengan penegak hukum lain. Meski begitu, Dia juga meminta para wakil rakyat melihat kesuksesan KPK membawa kasus korupsi e-KTP ke pengadilan Tipikor.
"Kasus e-KTP kan bukan diawali OTT, jadi pandangan KPK hanya sibuk OTT timbang menuntaskan kasus besar, bisa dimentahkan. Ada juga kasus Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang kasusnya suap soal pertambangan. Itu bukan OTT dan punya dampak kerugian negara yang besar juga," ujar Donal Fariz.