Ini Respon SETARA Institute Soal Kasus Ge Pamungkas dan Joshua Suherman
Dua komika Indonesia, Ge Pamungkas dan Joshua Suherman, dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan melakukan penistaan agama.
Editor: Ferdinand Waskita
Sebagaimana viral di beberapa media sosial, kata Bonar, komika populer lainnya juga mengangkat isu sensitif agama dalam menyampaikan kritik sosial melalui stand-up comedy.
Naamun tidak dipersoalkan oleh kelompok ini karena dalam perhelatan politik elektoral di DKI Jakarta yang lalu termasuk dalam pendukung kubu politik yang mereka usung.
Mencermati konteks tersebut, Bonar meminta pihak kepolisian RI hendaknya tidak secara gegabah melakukan tindakan kepolisian atau meningkatkan status pelaporan penistaan agama ini dalam proses hukum.
"Proses hukum atas dua komika tersebut nyata-nyata akan mengancam kebebasan berekspresi serta membungkam kreativitas dalam menyampaikan kritik sosial dan dalam berkesenian," tutur Bonar.
"Modus penggunaan dalil penodaan agama di atas in line dengan beberapa kasus lainnya pasca reformasi, yang dalam catatan SETARA Institute hingga akhir 2017 mencapai 109 kasus," tambahnya.
Oleh karena itu, SETARA meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi dengan dalil penodaan agama dan (2) menunjukkan keseriusan untuk menghapus pasal penodaan agama dalam KUHP, PNPS dan UU ITE.
Menurut Bonar, tingginya subjektivitas dan elastisitas dalam pasal penodaan agama bertentangan dengan asas legalitas dalam konstruksi hukum positif, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan tidak berkontribusi signifikan bagi terwujudnya tertib sosial, tertib hukum, dan keadilan.
"Permisivitas pemerintah untuk merespons kegenitan-kegenitan politis melalui pelaporan penodaan agama dan ketidakseriusan dalam mengeliminasi dalil penodaan agama dalam sistem hukum nasional akan mengakibatkan jatuhnya semakin banyak korban. Selain itu, dalil tersebut akan terus dimanfaatkan kelompok kepentingan dan ekonomi-politik tertentu untuk kepentingan-kepentingan subjektif mereka," kata Bonar.