66 Tahun Kopassus, Kisah Mualaf Belanda yang Jadi Komandan Pertama Para Pasukan Elit Baret Merah
Namanya Idjon Djanbi. Ya, bagi para pasukan Baret Merah, nama ini memang dikenal keramat.
Editor: Aji Bramastra
Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia.
Saat itu, Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia.
Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Simon Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946.
Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat.
Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak.
Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.
Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia.
Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa.
Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya.
Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai.
Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia.
Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Bandung.
Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala.
Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak peterjun militer.
Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil.
Meskipun keputusan ini mengandung risiko tinggi karena saat itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia.
Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya ini.
Namun ia tak gentar.
Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung.
Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang perempuan Sunda.
Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.
Cetak Pasukan Komando
Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda.
Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.
Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga.
Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ.
Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.
Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat.
Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando.
Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat.
Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando.
Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi.
Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon Djanbi.
Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665.
Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.
Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus.
Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi.
Inilah tanggal yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.
Satu tahun kemudian satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Tanggal 14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD).
Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Tanpa Upacara Militer
Barangkali, inilah mengapa di setiap prajurit Kopassus, tertanam sikap tak berharap penghargaan dari negara meski nyawa jadi taruhannya.
Karena begitulah akhir hidup Idjon Djanbi di Indonesia.
Meski jadi komandan pertama Si Baret Merah, tapi Djanbi disebut tak mendapat upacara militer nan megah.
Pada 1965, TNI AD berkeinginan agar RPKAD dipimpin orang Indonesia tulen.
Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat).
Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957.
Dia akhirnya diberi penghargaan, berupa jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi.
Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.
Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta.
Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya.
Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih.
Hasil diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi.
Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.
Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977.
Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta.
Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta tahun 1977 pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya.
Sebagai komandan pertama Kopassus, Idjon Djanbi dimakamkan tanpa tembakan salvo. Sesuatu yang ironis.
Idjon Djanbi dikebumikan tanpa tembakan salvo penghormatan.
Padahal, sejarah mencatat namanya sebagai Bapak Kopassus Indonesia.
Dia tentu sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus. (*)
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Idjon Djanbi, Bapak Kopassus Indonesia yang Dimakamkan Tanpa Tembakan Salvo