Kata Fadli Zon Kehidupan Buruh Semakin Suram di Era Jokowi
Pasalnya kebijakan pemerintahan Jokowi cenderung memuluskan kepentingan investasi asing dan mengorbankan kepentingan buruh lokal.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Malvyandie Haryadi
Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.
“Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan dilabrak.” tuturnya.
Fadli mengatakan klaim bahwa Perpres No. 20/2018 ini disusun untuk melindungi tenaga profesional lokal, hanya omong kosong.
Pada Pasal 6 ayat 1, di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ketentuan tersebut menurutnya berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional lokal.
Selain itu Perpres No. 20/2018 juga mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP.
"Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin verifikasi bisa dilakukan? Makanya jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak. Kasus semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan.” katanya.
Fadli mengatakan Kondisi tersebut sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi kesejahteraan upah minimum buruh Indonesia merupakan yang terendah keempat di ASEAN.
Indonesia hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja. Begitu juga kalau dilihat dari sisi kebebasan berserikat.
Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia. Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat buruh kita cukup banyak.
Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh kita malah anjlok hingga 50 persen.
Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh kita masih berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja.
“Saya khawatir, meski pemerintah selalu mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tidaklah demikian. Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi.” pungkasnya.