Tiru Megawati, Jokowi Diminta Segera Terbitkan Perpu Antiterorisme
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan, Presiden tidak perlu takut dikatakan terlalu sering menerbitkan Perpu.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan Kapolri Jenderal Tito Karnavian agar Presiden segera menerbitkan Perpu Antiterosime harus didukung penuh.
Sebab, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ada saat ini sudah tidak memadai untuk menindak para pelaku teror.
“Melihat aksi teror yang beruntun pascakerusuhan Mako Brimbob, saya kira sudah memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’ untuk penerbitan Perpu,” kata Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan, Presiden tidak perlu takut dikatakan terlalu sering menerbitkan Perpu.
Sebab, penerbitan Perpu Antiterorisme ini justru demi menyelamatkan rakyat dari ancaman para pelaku teror.
“Kalau selama ini aparat kan hanya bisa menindak jika pelaku telah melakukan teror atau jelas barang buktinya, dengan Perpu, aparat bisa mendeteksi dan menindak lebih awal para pelaku teror. Jadi, bisa mencegah atau meminimalisir rakyat yang berpotensi menjadi korban,” kata Charles.
Charles menambahkan, Presiden juga tidak perlu takut disebut sering menerbitkan Perpu karena UU 15 Tahun 2003 yang saat ini pun hasil dari pengesahan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang diterbitkan Presiden Megawati Soekanoputri.
“Perpu itu respons cepat Ibu Megawati atas peristiwa Bom Bali 2002. Bahwa kemudian Perpu yang menjadi UU ini sekarang harus diubah, semua untuk merespons tindakan teror yang semakin kompleks belakangan ini,” kata Charles.
Perpu, kata Charles, juga hendaknya memenuhi keinginan Polri agar pengadilan diberi kewenangan untuk memutuskan sebuah organisasi radikal terkait terorisme atau tidak. “Jadi aparat punya jaminan untuk menindak anggota-anggota organisasi teroris,” ujarnya.
Lebih jauh, Charles menambahkan, Perpu adalah cara paling efektif merespons ekskalasi aksi terorisme pascakerusuhan Mako Brimob, ketimbang menunggu revisi UU oleh DPR.
“Kita tahu ini tahun politik, dimana kerja-kerja legislasi DPR biasanya mengendor,” ujarnya.
Belum lagi, lanjut dia, Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i dari Fraksi Partai Gerindra, sering mengeluarkan pernyataan kontraproduktif.
Misalnya, seperti diberitakan media, Syafi’i pernah menyebut polisi yang sebenarnya teroris di Poso, bukan Santoso.
“Syafi'i mengglorifikasi Santoso sehingga dikhawatirkan Ketua Pansus itu punya ideologi lebih dekat kepada pelaku teror dibanding ideologi sebagai Ketua Pansus yang membahas Undang-undang Tindak Pidana Terorisme,” ujar Charles.