Kode Etik Jadi Pegangan Media ketika Meliput Aksi Terorisme
Dewan Pers menilai jangan sampai media massa justru menjadi oksigen bagi gerakan terorisme dengan menampilkan berita yang berlebihan bahkan melanggar
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pers menilai jangan sampai media massa justru menjadi oksigen bagi gerakan terorisme dengan menampilkan berita yang berlebihan bahkan melanggar kode etik jurnalistik.
Baca: Aher Klaim Saat Ini Wilayah Jabar Aman dari Teror
Baca: Nasib Terkini Anak Teroris yang Selamat dari Bom Polrestabes Surabaya, Hidup Sebatang Kara
"Tahun 2000-an sudah muncul tulisan orang dalam bentuk jurnal terutama di luar negeri, dan yang menjadi topik penelitian paling banyak itu di kasus IRA di Irlandia. Dari laporan itu ditemukan, kalau terjadi tindak terorisme satu kali, kemudian media banyak melakukan peliputan, itu biasanya akan dikuti tindakan teror susulan," ungkap Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Demikian disampaikan Yosep Adi Prasetyo dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Cegah dan Perangi Aksi Teroris" yang diselenggarakan di Gedung Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (16/05/2018).
Kenapa? Yosep mengutip sinyalemen dari mantan PM Inggris Margaret Thatcher bahwa media itu justru oksigen bagi teroris.
"Terorisme itu kalau kita lihat ada kaitan dengan media itu adalah unsur faktor kejutnya, dan efek menggetarkan, yang bisa membuat efek ini adalah media. Itu menimbulkan efek mencekam untuk masyarakat," ujar jurnalis senior yang akrab disapa Stanley itu.
Stanley memaparkan, misalnya media TV kerap berlomba-lomba menyiarkan Breaking News (Berita Terkini) paling tercepat namun gambar yang sama terus diulang dari pagi sampai malam.
"Sebetulnya ini bukan Breaking News. Karena Breaking News ada aturannya. Beberapa menit setelah kejadian itu bisa Breaking News. Sementara , pelaku teror itu sudah meninggal, tapi message terornya itu diteruskan oleh media," ungkapnya.
Pun, beberapa isu yang beredar di media sosial kerap dikutip media online (daring) tanpa ada konfirmasi atau klarifikasi dari pihak berkompeten.
Hal ini yang perlu dipahami oleh kalangan media karena tidak ada teorinya berita tayang dulu konfirmasi kemudian. Menayangkan gambar korban atau anak-anak juga harus dikaburkan oleh media.
Untuk itu, Dewan Pers mengeluarkan surat edaran mengenai kode etik berupa Pedoman Peliputan Terorisme pada tahun 2015. Ada 13 poin di situ. Misalnya, jurnalis jangan berkerumum di lokasi peristiwa bom sebab ada kemungkinan ada ledakan atau serangan susulan.
Stanley mengingatkan ketika terjadi kasus bom MH Thamrin, Jakarta tahun 2016, ketika bom meledak di Pos Polisi depan Gedung Sarinah maka terjadi kerumunan orang. Celakanya teroris menyelinap di kerumunan tersebut dan ada dua polisi yang ditembak mati.
Ketua Dewan Pers menambahkan ada beberapa standard prosedur pengamanan yang dibuat aparat kepolisian maupun untuk peliputan kasus terorisme yang harus sama-sama dipahami. Sebab pihak aparat keamanan tentu juga perhatian atas keamanan peliputan bagi jurnalis sebagai bagian dari pengamanan masyarakat secara umum.
Hadir sebagai narasumber dalam FMB 9 kali ini antara lain Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Donny Budi Utoyo, dan pengamat Terorisme Universitas Indonesia Solahudin.
Kegiatan FMB 9 juga bisa diikuti secara langsung di: www.fmb9.id, FMB9ID (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook), dan FMB9ID (Youtube).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.