Catatan Federasi Serikat Guru agar Sekolah Dapat Tangkal Terorisme
FSGI menilai ideologi terorisme diawali dengan cara pandang yang tidak menghargai perbedaan.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serangan teror yang terjadi akhir-akhir semakin mengkhawatirkan.
Adanya dugaan keterlibatan satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan dua orang anaknya membuat fenomena baru bahwa anak-anak sudah menjadi target indoktrinasi radikalisme.
"Tentu fenomena ini sungguh di luar nalar dan melukai perasaan kita sebagai pendidik, khususnya FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) sebagai organisasi profesi guru," ujar Heri Purnomo, Sekjen FSGI di Jakarta, Minggu (20/5/2018).
FSGI menilai ideologi terorisme diawali dengan cara pandang yang tidak menghargai perbedaan.
Sehingga, perlu ada keterbukaan di mana guru dan siswa dapat saling menghargai perbedaan.
“Pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan. Sehingga para siswa dan guru terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Model intoleransi pasif inilah yang mulai muncul di dunia pendidikan kita”, demikian uraian Heru Purnomo.
Selain itu, guru juga perlu melakukan perbaikan cara pembelajaran, yang semula satu arah.
FSGI berharap guru dapat mempratikkan komunikasi dua arah agar menghindari pratik pembelajaran di kelas ysng masih berpusat pada guru (teacher centered learning).
Baca: Ngeri, Begini Kronologi Video Kecelakaan Truk di Bumiayu, 12 Orang Ngabuburit Tewas & 7 Rumah Rusak
"Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah. Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa," ujar Wasekjen FSGI, Satriwan Salim.
Sekolah juga dinilai perlu memperketat kegiatan kesiswaan yang terkait keagamaan, mengingat adanya intervensi alumni dan pemateri dari luar sekolah tanpa screening oleh guru maupun kepala sekolah.
"Masuknya pemikiran yang membahayakan kebinekaan ini bisa dari alumni melalui organisasi sekolah atau ekstrakurikuler, pemateri kegiatan kesiswaan yang bersifat rutin (sepeti mentoring dan kajian terbatas)," sambung Heru.