Moeldoko Jelaskan Pemerintah Restui Adanya Pasukan Koopssusgab
Pasukan itu akan membantu Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam upaya pemberantasan terorisme secara cepat dan efektif.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Fajar Anjungroso
Berkaca pada kejadian di Surabaya, terjadi perubahan stereotipe pelaku teror di Indonesia.
Dari yang awalnya kerap dicitrakan sebagai sosok tertutup, menjadi orang seperti keluarta Dita Oeprianto yang terbuka dan bergaul dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, Ridlwan pun mendukung bila ada kekuatan baru seperti Koopssusgab yang bisa diturunkan secara cepat dan efektif manakala diperlukan.
''Koopsusgap itu sebagai stand by corps tapi kalau masih teroris dalam skala kecil masih ranahnya Polisi,'' kata Ridlwan.
Mengingat akan adanya berbagai event besar berskala internasional seperti Asian Games dan pertemuan IMF-World Bank di Bali dalam waktu dekat, Ridlwan pun berharap, pemerintah semakin waspada dan tidak mengurangi kesiagaan.
Terlepas dari segala ketegasan dalam pemberantasan terorisme, pegiat Hak Asasi Manusia, Al Araf berharap negara tidak melupakan aspek HAM.
"Logikanya sederhana, tidak akan pernah berhasil sebuah negara menangani terorisme secara represif tanpa pertimbangan HAM. Jika 1 orang salah tangkap, akan ada 10 orang balas dendam. Mulai dari anak, istri, atau keluarganya," kata Al Araf.
Sejauh ini, dari pengamatannya terhadap perkembangan pembahasan RUU Pemberantasan Terorisme, aspek HAM sudah cukup dipertimbangkan.
Misalnya penahanan tersangka dibatasi sampai 30 hari saja. Lebih dari itu, polisi butuh ketetapan pengadilan.
Pun penyadapan tidak bisa dilakukan secara semena-mena.
"Dalam jangka pendek, penegakan hukum dan polisi yang dikedepankan. Tapi bila eskalasinya tinggi, TNI mutlak dibutuhkan," kata Al Araf.