Ahli Hukum Tata Negara Indonesia: UU BUMN Harus Diamandemen Karena Alasan-Alasan Ini
UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf (a) dan (b) serta Pasal 4 ayat (4) harus diamandemen
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf (a) dan (b) serta Pasal 4 ayat (4) harus diamandemen, dicabut dan diganti dengan delegasi wewenang mengatur penyertaan modal BUMN dengan Undang-undang. Alasannya adalah karena ketentuan-ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat mengingat normanya kabur dan bertentangan secara hierarkis dengan UUD NRI 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Pancasila, cita hukum dan pembenaran teoritis lainnya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, ketentuan kedua pasal harus diamandemen.
Demikian ditegaskan Guru Besar Universitas Udayana, Prof. DR. Yohanes Usfunan, dalam keterangannya dalam sidang gugatan uji materi UU BUMN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/5). Yohanes Usfunan, yang merupakan satu dari 21 Ahli Hukum Tata Negara Indonesia yang hadir dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016, adalah saksi ahli oleh Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro, pemohon perseorangan dan peneliti ekonomi kerakyatan yang mengajukan uji materi UU BUMN.
Pasal UU BUMN yang dipermasalahkan para pemohon adalah Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) tentang maksud dan tujuan pendirian BUMN, serta Pasal 4 ayat 4 tentang perubahan penyertaan keuangan negara yang diatur melalui melalui Peraturan Pemerintah.
Diuraikan oleh Usfunan bahwa, Pasal 2 ayat (1) huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN secara eksplisit norma hukumnya kabur sehingga menimbulkan multi tafsir dan bertetangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), 28C ayat (1), 28D ayat (1),28H ayat (1),(2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Guru Besar Universias Udayana itu menguraikan, yang secara eksplisit norma hukumnya kabur sehingga menimbulkan multi tafsir dan tidak menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, karena bertetangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi. Pertentangan yang dimaksud adalah terhadap Pasal, 23 C, 23 ayat (1), (2) dan ayat (3), 20A ayat (1), Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Bahkan, Pasal 4 ayat (4) UU BUMN itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/ SKLH-X/2012, tanggal 31 Juli 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013.
Selain itu, Secara akademik ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b dan Pasal 4 ayat (4) UU tentang BUMN bertentangan dengan cita hukum, Pancasila, Negara hukum, Ham absolut, teori penjenjangan norma hukum dan asas hukum Lex Superior Derogaat Legi Inferiori,” tegas Yohanes Usfunan, yang pernah mengikuti Comparative Study of Legislative Drafting di berbagai universitas di Amerika Serikat dan Eropa.
Terkait dengan pasal 4 ayat 4 UU BUMN yang mengatur tentang perubahan penyertaan keuangan negara yang diatur dengan menggunakan Peraturan Pemerintah, menurut Usfunan, delegasi wewenang mengatur dengan, melemahkan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan anggaran (melalui RUU APBN) oleh DPR. Dijelaskannya, delegasi wewenang mengatur dengan, Peraturan Pemerintah, berpeluang menimbulkan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang seperti, korupsi, kolusi dan nepotisme karena pengelolaan BUMN (penyertaan modal) tanpa pengawasan DPR.
“Sekiranya melibatkan DPR karena menggunakan fungsi dan hak-hak DPR, maka eksistensi BUMN untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan terus ditingkatkan. Untuk terus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, pengelolaan BUMN ke depan perlu menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” ujar Usfunan, yang merupakan salah satu dari 21 Ahli Hukum Tata Negara yang bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016.
Oleh Usfunan diurai lebih lanjut, syarat-syarat pemerintahan yang bersih meliputi, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (the governance by law), transparansi, akuntabilitas (responsibility), pengawasan dan partisipasi.
Kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua makna yakni (pertama) nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional kemandirian pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial dan (kedua) aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai tujuan tersebut.
Wujud good governance adalah, penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, efisien dan efektif dengan menjaga interaksi yang konstruktif diantara domain negara, sector swasta dan masyarakat .
“Penyelenggaraan pemerintahan (termasuk BUMN) yang sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan pengaturan yang menjamin kepastian hukum dan keadilan mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Atas dasar itu, delegasi wewenang mengatur BUMN hanya dengan Peraturan Pemerintah, merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan rakyat pada umumnya karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya.
UUD NRI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menentukan, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai asas legalitas dalam konsep Negara hukum bahwa, “ setiap tindak pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, UU dalam arti formil dan UUD NRI 1945 sendiri merupakan tumpuan dasar bagi tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting negara hukum.
Dengan dasar ini, Usfunan menegaskan, ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 terkait delegasi mengatur (penyertaan modal BUMN) yang hanya dengan Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan asas lagalitas dan asas perlindungan Hak Asasi Manusia dalam konsep Negara hukum dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “ Negara Indonesia adalah negara hukum.
Selain itu, pendelegasian wewenang mengatur dengan, Peraturan Pemerintah juga bertentangan dengan cita hukum (rechts idee) yang meliputi, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Berdasarkan cita hukum tersebut, delegasi wewenang mengatur penyertaan modal BUMN dengan, Peraturan Pemerintah tidak menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Cita Hukum Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang meliputi, pengayoman, keadilan sosial, demokrasi, kemanusiaan, moral dan negara hukum.
“Dari persepektif Filsafat dan dasar Negara Indonesia Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara sesuai Pasal 2 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Paraturan Perundang-Undangan, maka Pasal 2 ayat 1 huruf (a) dan (b) serta Pasal 4 ayat (4), bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yaitu, Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila persatuan Indonesia,” tegas Doktor Hukum dari Universitas Airlangga ini.
Dalam gugatan ini, kedua pemohon didukung olehPersatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI). Selain itu, kedua pemohon juga dibantu kuasa hukum Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken) yang terdiri atas Liona N Supriatna (Kordinator), Hermawi Taslim, Daniel T Masiku, Sandra Nangoy, A Benny Sabdo Nugroho, Gregorius Retas Daeng, AMC Alvin Widanto Pratomo, dan Bonifasius Falakhi. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.