Sumarsih tak Puas Cara Jokowi Selesaikan Kasus HAM
Namun sayang, lagi-lagi Sumarsih harus kecewa karena pada saat itu jawaban Jokowi tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asa besar diberikan para keluarga korban pelanggaran HAM berat yang dikenal dengan peserta Aksi Kamisan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan kali pertama di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 31 Mei 2018.
Namun, pertemuan itu tak sesuai harapan karena Jokowi justru memerintahkan Jaksa Agung berkoordinasi dengan Menkopolhukam Jenderal (Purn) TNI Wiranto yang notabene-nya bagian pihak yang disebut dalam satu kejadian pelanggaran HAM.
Hal itu disampaikan ibunda korban Tragedi Semanggi-Trisakti I, Maria Katarina Sumarsih, saat ditemui Tribun di kediamannya di kawasan Meruya, Jakarta Barat, pada Senin (11/6) kemarin.
"Respon Pak Presiden setelah kami bicara adalah, akan menugasi Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Menkopolhukam dan Komnas HAM. Untuk mengetahui progres pertemuan Presiden dengan korban itu bisa dikejar ke Pak Moeldoko," ucap lesu Sumarsih.
Padahal, Maria dan keluarga korban pelanggaran HAM menginginkan Jokowi selaku Presiden langsung memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk melakukan penyelidikan terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan penyelidikan oleh Komnas HAM sehingga bisa dilaporkan ke DPR dan DPR bisa memberikan rekomendasi ke Jokowi untuk mengadakan Pengadilan HAM Ad Hoc lewat Keputusan Presiden.
Namun sayang, lagi-lagi Sumarsih harus kecewa karena pada saat itu jawaban Jokowi tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Jokowi mengatakan kepadanya bahwa ia akan memerintahkan Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Menkopolhukam Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto.
Menurut Sumarsih, keputusan Presiden Jokowi tersebut tidak akan mengubah banyak hal mengingat dalam penutup dokumen yang ia serahkan kepada Jokowi.
Nama Wiranto selaku Menhankam dan Panglima ABRI tercantum sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam tragedi Mei 1998.
Bahkan, menurutnya justru Jokowi selaku Presiden menunjukan ketidakberaniannya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat saat kali pertama mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam di dalam kabinetnya.
Padahal, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat menjadi salah satu janji besar Jokowi saat menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 sebagaimana termuat dalam Nawacita.
"Jawabannya adalah Jokowi orang yang tidak berani, walaupin pada hari HAM 15 Desember lalu Presiden mengatakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan keberanian untuk mencari terobosan penyelesaian secara Yudisial, non Yudisial, dan rekonsilisai," ungkap Sumarsih.
Sumarsih menunjukkan ratusan lembar kertas dan meletakannya di meja kayu berlapis kaca.
Kertas-kertas itu merupakan salinan dokumen pelanggaran HAM di mana dokumen utamanya telah diserahkannya langsung ke pada Presiden Jokowi saat pertemuan di Istana Kepresidenan pada 31 Mei lalu.
Sumarsih hadir bersama 20 orang perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM lainnya.