Sumarsih tak Puas Cara Jokowi Selesaikan Kasus HAM
Namun sayang, lagi-lagi Sumarsih harus kecewa karena pada saat itu jawaban Jokowi tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
Editor: Hendra Gunawan
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan TNI Moeldoko, Juru Bicara Presiden Johan Budi, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki.
Dokumen yang diserahkan oleh Sumarsih antara lain, surat bernomor 524/JSKK/I/2017 berisi catatan tentang Penyelesaian Pelanggaran HAM berat, dua halaman bolak-balik catatan berjudul "Kasus Trisakti, Semanggi I Dan Semanggi II Perlu Diselesaikan Melalui Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc", draft pengakuan pelanggaran Hak Asasi Manusia, serta ratusan lembar berisi hasil investigasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) terkait peristiwa kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 dan Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II.
Bagi Sumarsih, cara Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini menambah kekecewaaan dia sebelumnya.
Inisiator aksi Kamisan itu menceritakan, dirinya menaruh harapan besar kepada Jokwi saat dia menjadi calon presiden pada Pilpres 2014. Saat musim kampanye itu, dirinya selalu membawa dua buah tas berisi dokuemn terkait kasus pelanggaran HAM yang mendera putranya.
Tas pertama berisi perlengkapan pribadinya dan tas kedua berisi dokumen-dokumen lengkap perihal enam peristiwa pelanggaran HAM berat yang ditulis dalam Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK antara lain Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998, Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa terhadap 13 orang aktivis, peristiwa Talang sari - Lampung, Peristiwa Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
"Waktu itu kan Pak Jokowi terkenal suka blusukan. Saya mikirnya sewaktu-waktu Pak Jokowi tiba-tiba datang dan bertemu kami. Jadi dokumen itu bisa langsung saya serahkan. Tahunya nggak," kenang Sumarsih kecewa.
Sumarsih adalah ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi 1998.
Sejak tragedi buruk tersebut hingga saat ini, Sumarsih bersama sejumlah keluarga korban dan pegiat HAM menggelar aksi damai di taman depan Istana Negara Jakarta.
Meski 11 tahun berlalu, aksi tersebut tetap dilakukan dengan asa adanya penyelesaian tidak hanya kasus Semanggi I, tapi juga sejumlah kasus-pelanggaran HAM masa lalu lainnya.
Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung diselesaikan itu di antaranya, Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Talangsari, Tanjung Priok, serta Tragedi 65.
Suami Sumarsih, Arief Priyadi yang merupakan peneliti yang bekerja di Centre of Startegic and Internasioal Studies (CSIS) menunjukan sebuah poster usang berukuran sekitar 27 x 42 cm. Tampak foto delapan orang dengan tulisan tegas berwarna merah "Mereka Bertanggungjawab" di poster tersebut.
Nama-nama tersebut antara lain Dibyo Widodo, Wiranto, Djaja Suparman, Roesmanhadi, Hamami Nata, Sjafrie Sjamsoeddin, Nugroho Djajoesman, dan Hendardji.
Arief mengatakan selama ini pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM sulit dibentuk oleh pemerintah karena memungkinkan untuk mengadili tidak hanya pelaku di lapangan, melainkan juga komandannya.
"Karena sangat memungkinkan orang-orang yang akan diadili itu pelaku-pelaku di lapangan, tapi harus ada tanggung jawab dari komandan di atasnya," kata Arief.
Sementara di sisi lain menurutnya Wiranto sebagai Menhamkam Pangab pada tahun 1998 yang kini menjadi Menkopolhukam selalu menghindar dengan mengatakan dia tidak punya tanggung jawab pada peristiwa itu.
"Tapi sementara ini seperti Wiranto kan selalu menghindar diri bahwa dia tidak punya tanggung jawab terhadap persitiwa itu. Itu adalah tanggung jawab para komandan yang waktu itu ada di lapangan," ungkap Arief.