Argumen Direktur Eksekutif IPI Terkait Gugatan Terhadap Pasal 222 UU Pemilu
"Kalau kita mau konsisten melaksanakan nilai-nilai Pancasila, kita harus memahami sila keempat dari Pancasila," ujarnya
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo mengatakan bahwa argumen yang diajukan dalam gugatan terkait Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 merupakan sesuatu yang aneh, terlebih kaitannya soal bertentangan dengan Pancasila dan juga UUD 1945.
"Kalau kita mau konsisten melaksanakan nilai-nilai Pancasila, kita harus memahami sila keempat dari Pancasila," ujarnya dalam Diskusi Terbuka bertajuk Pro Kontra Presidential Threshold di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2018).
Diujarkan Karyono bahwa proses pemilu merupakan demokrasi perwakilan.
"Langsung atau tidak langsung itu persoalan cara, tapi anda memilih salah satu partai itu untuk duduk di parlemen itu kan anda wakilkan," tambahnya.
Justru aneh, dilanjutkan Karyono, kalau argumen para pemohon Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pancasila.
Karyono melanjutkan bahwa argumen para pemohon yang mengatakan Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945 pasal 6 dan pasal 6a merupakan sesuatu yang multitafsir dan debatable.
Baca: Penjelasan Kemenlu Tentang Pasukan Penjaga Perdamaian Asal Indonesia yang Gugur di Sudan
"Apa yang dilakukan oleh beberapa orang dan lembaga yang mengajukan gugatan ke MK kebetulan memiliki kepentingan yang sama antara si pemohon dan elite politik yang memiliki kepentingan di pilpres 2019," imbuh Karyono.
Baca: Kisah Gubernur Jatim Terpilih Khofifah Indar Parawansa Kedatangan Ratusan Tamu di Rumahnya
Namun, Karyono menegaskan argumennya hanya sebatas dalam kepentingan, tidak melebar ke soal transaksi politik.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Komite Pemerintahan Rakyat Indonesia, Sri Sudarjo akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 222 dan Pasal 226 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sudarjo mengatakan bahwa frasa dalam pasal 222 harus diubah dan dinyatakan tidak mengikat Pasal
"Mengapa harus diubah persentasinya, itu karena data memilih untuk tidak memilih jauh lebih besar jumlahnya dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, seperti yang dirilis KPU sejumlah 30,42 persen," ujarnya di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat.