Sidang Keponakan Setya Novanto, Jaksa Hadirkan 8 Saksi
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan delapan orang saksi dari beragam unsur untuk didengar keterangannya.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan perkara korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan terdakwa keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Dalam sidang hari ini, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan delapan orang saksi dari beragam unsur untuk didengar keterangannya.
Delapan saksi itu yakni Irwan, Nenny, Santoso Kartono, Riswan alias Iwan Baralah, Frans Hartono Arief, Muhammad Nur, July Hira dan Nunuy Karnasih.
Di sidang sebelumnya, Selasa (7/8/2018) Jaksa menghadirkan tujuh saksi. Namun, dua saksi tidak hadir.
Kelima saksi tersebut yakni, mantan Ketua Komisi II DPR RI, Chairuman Harahap; mantan Sekjen Kemendagri, Diah Anggraini; pengusaha Ikhsan Muda Harahap; anggota tim Fatmawati, Mudji Rachmat Kurniawan; serta mantan Country Manager HP Enterprise Services, Charles Sutanto.
Baca: Ketika Prabowo-Sandi Tes Kesehatan, Takut Jarum Suntik, 2 Jam Foto hingga Diminta Dokter Turunkan BB
Sementara dua saksi yang tidak hadir ialah, mantan Direktur PT Java Trade Utama, Johanes Richard Tanjaya dan pengusaha Jimmy Iskandar Tedjasusila.
Diketahui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, didakwa turut serta melakukan korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Dia didakwa bersama-sama dengan pengusaha Made Oka Masagung.
Keduanya berperan menjadi perantara dalam pembagian fee proyek pengadaan barang atau jasa e-KTP untuk sejumlah pihak.
Irvanto dan Made Oka juga turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek itu.
Atas perbuatannya, Anang dan Made Oka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.