Kapal Berbendera Indonesia Terdampar di Myanmar, Kemenlu RI: Kapal Sudah Dijual ke Perusahaan Asing
Ketika ditanya soal nasik awak kapal tersebut, Arrmanatha menegaskan bahwa kapal tak berawak alias kosong.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri memastikan kapal kontainer besar berbendera Indonesia yang terdampar di Yangoon, Myanmar sudah dijual ke pihak perusahaan asing.
"Kapal itu sudah dijual ke perusahaan asing sudah bukan kapal milik perusahaan Indonesia," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir saat dikonfirmasi Tribunnews, Sabtu (1/9/2018).
Ketika ditanya soal nasik awak kapal tersebut, Arrmanatha menegaskan bahwa kapal tak berawak alias kosong.
"Kapal kosong tidak ada ABK," ujarnya.
Sebuah kapal kontainer besar terdampar di Teluk Martaban, Yangoon, Myanmar.
Kapal yang diketahui berbendera Indonesia tersebut ditemukan tak berawak dan terdampar begitu saja di tengah lautan.
Media lokal menyebut kapal bernama Sam Ratulangi PB 1600 tersebut sebagai 'Kapal Hantu'.
Media lokal The Irrawaddy menulis, berdasarkan Departemen Administrasi Kelautan Myanmar, kapal tersebut terdaftar di Palau, Pasifik, kemudian terdampar di Teluk Martaban akibat cuaca buruk sejak tiga hari lalu.
Departemen Administrasi Kelautan Myanmar menduga bahwa kapal tersebut ditarik oleh kapal lain sampai jarak tertentu sebelum dilepas dan kandas, atau ditinggalkan setelah gagal dalam upaya menarik kapal itu.
Dalam pernyataannya, pihak otoritas di Myanmar juga menyebut akan segera menghubungi otoritas di Palau sesegera mungkin untuk mencari tahu pemilik kapal tersebut.
Pihak kepolisian menyebut kapal itu ditemukan pada 29 Agustus 2018 pukul 08.00 pagi waktu setempat oleh warga dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Kepolisian ditemani perwakilan dari Imigrasi serta Departemen Administrasi dan petugas terkait kemudian memeriksa kapal tersebut.
Kapal sepanjang 177 meter, lebar 27,9 meter, berat 26.510 ton tersebut hingga kini juga masih terus diselidiki oleh kepolisian Myanmar dan otoritas setempat.(Willy Widianto)