Berkaca dari Kasus Karen, Pejabat Pertamina dan BUMN Harus Hati-hati dalam Aksi Korporasi
"Tentu akan menjadi lebih hati-hari bagi direksi sekarang, bahkan sebagian akan sangat takut. Tetapi yang penting semua prosedur harus diikuti,"
Penulis: Apfia Tioconny Billy
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan kini mendekam di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Ia menghuni Rutan Pondok Bambu atas dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan investasi pada Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) tahun 2009.
Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Center of Energi and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan dengan adanya kasus tersebut tentunya akan membuat direksi Pertamina berhati-hati dalam mengambil keputusan menggarap blok baru.
Baca: Prabowo Persilakan Yenny Wahid Tentukan Dukungan Politiknya
Namun, ia meyakini masalah 'korupsi investasi' tersebut tidak terjadi jika direksi Pertamina mengikuti semua proses rencana investasi seperti due diligence, dianggarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), serta mendapat persetujuan komisaris sebelum mengakuisisi.
"Tentu akan menjadi lebih hati-hari bagi direksi sekarang, bahkan sebagian akan sangat takut. Tetapi yang penting semua prosedur harus diikuti," ungkap Yusri Yusman kepada Tribunnews.com, Selasa (25/9/2018).
Baca: Kejagung Resmi Tahan Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan
Para direksi Pertamina dan juga direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya pun disarankan agar lebih waspada saat melakukan aksi korporas, baik itu di luar negeri dan dalam negeri apalagi melihat jika ada prosedur yang tidak sesuai dengan korporasi.
"Semoga menjadi pelajaran bagi direksi BUMN lainya supaya lebih berhati-hati dalam menjalankan aksi-aksi korporasi kalau ada prosedur yang kurang akan menjadi rawan diduga melakukan korupsi ketika muncul kerugian negara," papar Yusri Yusman.
Saat Karen menjabat sebagai Dirut Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) meneken perjanjian dengan Roc Oil atau Agreement for Sale and Purchase-BMG dengan nilai transaksi 31 juta dolar AS dan Pertamina mengakusisi saham sebesar 10 persen dari Roc Oil.
Akibat akuisisi tersebut Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar 26 juta dolar AS.
Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak 812 barrel per hari.
Ternyata, Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari.
Akhirnya pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah karena blok dianggap tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Hasil penyidikan Kejagung menyatakan investasi yang dilakukan Pertamina tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Pengambilan keputusan investasi itu diduga tak dilengkapi feasibility study atau kajian kelayakan hingga muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar 31 juta dolar AS dan 26 juta dolar AS atau setara Rp 568 miliar.