Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Pemantau Pemilu di Luar Negeri yang Temukan Surat Suara Pemilu Diisi Curhatan PRT

"Malah ditulis pengaduan dia. Itu banyak sekali. Itu pengalaman saya ketika menjadi pemantau di Malaysia," kata Siti.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Cerita Pemantau Pemilu di Luar Negeri yang Temukan Surat Suara Pemilu Diisi Curhatan PRT
Tribunnews.com/Gita Irawan
Pemantau Pemilihan Umum Republik Indonesia di luar negeri dan koordinator advokasi kebijakan Migrant Care, Siti Badriyah di ruang Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat pada Minggu (7/10/2018). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sambil tersenyum, pemantau Pemilihan Umum Republik Indonesia di luar negeri dari Migrant Care, Siti Badriyah menceritakan pengalaman menariknya saat Pemilu Presiden tahun 2009 dan 2014 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Bukan mendapati surat suara yang dicoblos, Siti malah pernah menemukan surat suara yang berisi curhatan masalah-masalah dari sejumlah pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja di sana pada Pilpres 2014 lalu.

Hal itu diceritakannya saat hadir sebagai narasumber di diskusi media bertema "Menjaga Suara Buruh Migran Indonesia pada PEMILU 2019" di ruang Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat pada Minggu (7/10/2018).

"Bahkan surat suara yang bisa dikirim ke kedutaan malah ditulis masalahnya dia. Bukan dicontreng atau dicoblos. Saya gajinya nggak dibayar-bayar, saya mau pulang nggak bisa. Malah ditulis pengaduan dia. Itu banyak sekali. Itu pengalaman saya ketika menjadi pemantau di Malaysia," kata Siti sambil tersenyum.

Baca: Bawaslu RI: KPU Tak Lakukan Pelanggaran Administrasi Coret OSO dari DCT

Sebagai pemantau pemilu, biasanya Siti akan bekerja selama 10 hari sampai dua minggu di negara yang tekah ditentukan.

Namun sebelum berangkat ke luar negeri, Siti juga bertugas untuk melakukan pemantauan data dari tingkat Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di luar negeri.

Berita Rekomendasi

Sedangkan pada saat hari pemilihan, Siti akan memantau proses pemilihan, akses pemilih, surat suara, dan penghitungan suara di luar negeri.

Setelahnya, Siti akan membuat laporan hasil pemantauan dan menyerahkannya kepada Bawaslu RI.

Sebelum menjadi pemantau pemilu, Siti mengaku sudah bekerja di Malaysia selama setahun setengah dan di Brunei Darussalam selama 10 bulan.

Baru pada Agustus 2004 ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Siti mengatakan, para pembantu rumah tangga (PRT) sangat bergantung kepada izin dari majikannya untuk mengikuti pemilu khususnya di Malaysia.

Baca: KPU Dorong Penyebaran Informasi Hoaks Diselesaikan Lewat Jalur Hukum

Menurutnya, ada beberapa kendala yang membuat banyak PRT di sana yang tidak bisa menyalurkan suaranya.

Kendala tersebut antara lain majikan para majikan tidak tahu bahwa surat suara yang dikirim ke alamatnya lewat pos adalah surat suara karena informasi yang tertera di amplopnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak diterjemahkan.

Kedua, para majikan baru memberikan surat suara kepada PRT setelah proses rekapitulasi suara selesai.

Ketiga, para PRT tidak mendapat izin untuk keluar dan menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sudah ditetapkan.

"Untuk teman-teman yang bekerja di rumah tangga itu banyak yang mengalami kesulitan. Karena mereka bekerja di rumah tangga, kalau keluar harus seijin majikan. Maka kalau majikan nggak mengijinkan, itu dia nggak bisa menyalurkan hak pilihnya," kata Siti.

Selain itu, Siti mengatakan belum ada sosialisasi dari pemerintah RI dalam hal ini Kedutaan Besar atau Kantor Perwakilan yang tidak memberikan sosialisasi ke para majikan hingga pada Pemilu 2014.

Sosialisasi pada masa pemilu biasanya hanya dilakukan pemerintah lewat radio, sms, majalah, dan sosialisasi langsung kepada pekerja yang dikumpulkan di satu lokasi.

"Tidak ada (petugas door to door). Mayoritas lewat pos. Saya lihat di daftarnya lebih banyak lewat pos daripada lewat TPS. Karena yang lewat TPS itu kalau majikan nggak memberi ijin atau mengantar, nggak bisa," kata Siti.

Siti juga menerangkan mekanisme penyaluran surat suara lewat pos.

Biasanya Kedutaan Besar atau Kantor Perwakilan akan menyerahkan sejumlah surat surat suara yang telah dimasukan ke dalam amplop berlogo KPU RI.

Kemudian, surat suara tersebut akan dikirim ke alamat majikan para PRT.

Setelah diterima, PRT kemudian diwajibkan mengirimkannya kembali ke Kedutaan Besar Indonesia atau Kantor Perwakilan Indonesia yang ada di negaranya.

"Sebenarnya itu potensi kecurangannya tinggi, karena tidak ada yang mengawasi begitu sampai pos," kata Siti.

Selain kendala tersebut, Siti mengatakan para PRT yang tidak memilik dokumen lengkap juga cenderung takut untuk menyalurkan suaranya di TPS-TPS yang telah disediakan.

Kebanyakan PRT tersebut biasanya tidak memiliki visa kerja.

"Jadi yang undocumennted (tidak punya dokumen lengkap) itu masalahnya teman-teman itu, nanti jangan-jangan setelah ke TPS kita ditangkap. Ketakutan saja sebenarnya," kata Siti.

Siti yang juga bekerja sebagai koordinator advokasi kebijakan di Migrant Care sejak tahun 2004, mengatakan jumlah PRT yang tidak memiliki dokumen di Malaysia cukup banyak dan terus bertambah.

Hal itu dapat dilihat dari data transfer uang yang dilakukan pekerja Indoensia ke Indonesia terus meningkat.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri per Agustus 2017 yang dikutip di laman resmi Migrant Care, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 4.732.555 orang.

Sebanyak 2.862.495 buruh migran berdokumen dan 1.870.060 buruh migran tidak berdokumen.

Jumlah Pemilih di Kuala Lumpur Paling Tinggi

Koordinator Kelompok Kerja Pemilihan Luar Negeri Wajid Fauzi mengatakan jumlah terbesar pemilih luar negeri berada di Kuala Lumpur.

"Data kita di luar negeri tidak semuanya besar. Ada yang satu PPLN itu mengurusi 600 ribu orang. Paling besar itu di Kuala Lumpur. Tapi ada juga PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) yang mengurusi hanya 28 orang," kata Wajid di Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat pada Minggu (7/10/2018).

Ia menjelaskan, ada sejumlah kendala dalam pendataan pemilih yang berada di luar negeri.

Kendala tersebut antara lain pendaftaran WNI yang bekerja di sektor rumah tangga sangat tergantung dengan majikannya.

Selain itu ada sejumlah tenaga kerja yang kedatangan dan kepulangannya tidak terpantau karena masalah dokumen.

Terakhir, kendalanya adalah ada juga tenaga kerja di luar negeri yang tidak ingin mendaftar sebagai pemilih.

Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya siap bekerja sama dengan migran care untuk melakukan pendataan.

"Kami mendengar bahwa dari Migrant Care punya data lain. Pada prinsipnya kami siap untuk memperbaiki. Syukur-syukur Migrant Care punya data yang bisa kita cek keberadaan dan alamat lengkap buruh migran di luar negeri," kata Wajid.

Wajid mengatakan, kini pihaknya tengah berupaya untuk melakukan pendataan lewat media sosial.

Itu karena menurutnya, sejumlah kelompok buruh migran yang berada di luar negeri aktif berinteraksi di platform media sosial.

"Seperti di Hong Kong, teman-teman pekerja di sana lebih aktif di Facebook. Nanti mungkin kita bisa data lewat sana juga," kata Wajid.

Wajid mengatakan, sampai dengan 16 september 2018 pihaknya telah mencatat ada sebanyak 2.025.334 pemilih di luar negeri.

Sampai saat ini sudah ada 130 PPLN yang berkantor di Kantor Perwakilan Indonesia di seluruh dunia.

Kelompok kerja yang dibawahi Wajid sendiri dibentuk atas dasar nota kesepahaman antara Ketua KPU dan Menteri Luar Negeri pada Desember 2017.

Tugasnya adalah untuk melakukan pendataan dan pemutakhiran data.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas