LBH Masyarakat : Tembak Mati Bandar Narkoba Berimbas Putusnya Pengembangan Jaringan
Diketahui kasus ini bermula dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menembak satu dari tiga terduga pengedar narkoba jenis sabu-sabu
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat terus menyoroti kasus narkoba setelah Presiden Jokowi berpesan untuk perang terhadap narkoba.
Terlebih dalam beberapa kali pidatonya, sejak akhir 2017 lalu, Jokowi meminta jajaran kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) bertindak tegas terhadap pengedar dan bandar narkoba.
Jika diperlukan, mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah ini meminta aparat tidak ragu melakukan penembakan di tempat.
Bukan tanpa alasan, ini karena Jokowi menilai penyalahgunaan obat-obatan terlarang sudah menjadi ancaman besar bagi bangsa.
Ma'ruf, perwakilan dari LBH Masyarakat menilai ada korelasi antara instruksi Jokowi soal perang terhadap narkoba dengan naiknya kasus tembak mati di tempat terhadap pengedar narkoba.
"LBH Masyarakat mencatat selama 2017 khusus kasus narkoba, ada 99 orang meninggal di tembak mati. Ini ada hubungannya dengan pidato Jokowi perang lawan narkoba dengan angka penembakan jadi tinggi. Sesaat Jokowi bilang bandar lebih baik ditembak mati, angka di lapangan naik," paparnya, Selasa (20/11/2018).
Teranyar, diungkap Ma'ruf hal ini terjadi di kasus Sadikin Arifin. Dimana adanya penembakan yang mengakibatnya matinya seorang Warga Negara Asing asal Taiwan, membuat kasus yang menyeret Sadikin, warga Tebet, Jakarta Selatan itu terputus.
Sejak Sadikin ditangkap awal 2018 hingga kasusnya disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, penyidik BNN masih tidak bisa menjawab narkoba berupa sabu yang diduga diselundupkan oleh Sadikin dan WNA itu berasal dari mana serta akan diselundupkan dimana.
"Hari ini terbukti di kasus Sadikin. Tembak mati ini justru merugikan penegak hukum dalam mengusut kejahatan narkoba, kita kebingungan. Di kasus Sadikin, pelaku utamanya meninggal dunia. Kami meragukan kematian pelaku utama," tegasnya.
Menurut Ma'ruf perintah tembak mati pada bandar narkoba justru merugikan karena dapat menghambat pengembangan kasus yakni soal jaringannya.
"Bagaimana bisa mencari tahu jaringannya kalau pelaku utama ditembak mati. Sadikin ini penterjemah, dia kebetulan di lapangan ikut kemana-mana dengan WNA lalu ditemukan barang bukti (narkoba). Apa itu cukup untuk menghukum orang itu? Kita sepakat berantas narkoba tapi jangan dijadikan pembenaran untuk renggut nyawa perseorangan," imbuhnya.
Diketahui kasus ini bermula dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menembak satu dari tiga terduga pengedar narkoba jenis sabu-sabu, Huang Jhong Wei, Warga Negara Asing (WNA) asal Taiwan.
Huang ditembak mati karena melawan dan berusaha melarikan diri. Huang ditangkap bersama dua orang lainnya, Sadikin dan Akbar Rifa'i di Jalan Lodan Raya, Ancol, Jakarta Utara, Kamis (15/3/2018) malam.
Dari penangkapan itu, petugas mengamankan barang bukti dua buah koper berisi 51,4 kilogram sabu-sabu dengan total 50 bungkus, enam telepon genggang, buku tabungan asal Indonesia dan China, paspor, SIM card, kartu perdana, uang tunai dan kartu ATM.
Sampai akhirnya, hanya Sadikin yang maju dibawa ke meja hijau dan kini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara Akbar Rifa'i dibebaskan karena tidak terlibat. Akbar hanya seorang sopir taksi online yang mengantarkan Sadikin dan Huang.