Hakim dan JPU Harus Lihat Hukum Perseroan dalam Kasus Korupsi Investasi Pertamina
Seharusnya jaksa penuntut umum dan hakim bisa melihat lebih jauh terkait hukum perseroan dan hukum bisnis
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Frederik Siahaan angkat bicara terkait keputusan Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta yang menolak eksepsi atau keberatan yang diajukan dalam kasus dugaan korupsi investasi.
Maruarar Siahaan, kuasa hukum Frederick Siahaan menyebut keputusan hakim menolak eksepsi saat sidang perkara dengan menyatakan belum masuk substansi perkara boleh-boleh saja namun hakim seharusnya bisa lebih teliti lagi.
"Sebetulnya alasan (eksepsi) kami sangat kuat, ini kan hukum bisnis. Dalam bisnis itu ada untung rugi, jangan gara-gara rugi lalu dipidanakan," ujar Maruarar dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Minggu (25/11/2018).
Frederik menjadi terdakwa dalam kasus dugaan kasus korupsi investasi perusahaan di Blok Basker Manta Gummy (GMG), Australia pada 2009.
Maruarar meminta hakim jangan melihat perkara ini dari sudut pandang tindak pidana saja karena yang disidik adalah sebuah korporasi.
"Rezim hukum bisnis, beda dengan rezim hukum pidana. Ini kan perseroan (Pertamina), bukan berarti pidana. Itu yang kurang didalami hakim," ungkapnya.
Baca: Pengamat Sebut Modus Korupsi Dana Pensiun Pertamina Termasuk Jarang Ditemukan
Seharusnya, jaksa penuntut umum dan hakim bisa melihat lebih jauh terkait hukum perseroan dan hukum bisnis.
Karena kasus investasi Pertamina ini tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi saja.
"Di dunia lalu lintas (bisnis) ini, berapa ribu perusahaan rugi tiap hari. Itu mengapa tidak dihukum," ujarnya.
Seperti diketahui, perkara dugaan korupsi tersebut terjadi pada 2009, di mana Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Beberapa tahun setelah akuisisi, terjadi penurunan produksi hingga pada level tidak ekonomis dan akhirnya berhenti beroperasi.
Akhirnya, investasi sebesar 30 juta US dollar tersebut pun tak berbuah keuntungan.