Pengamat Tidak Benar Lahan dan Produktivitas Sawah Turun Drastis
mereka menganggap sistem ubinan sebagai metode perkiraan hasil panen sudah tidak baik lagi.
Editor: Content Writer
Pengamat Pertanian dari Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja, mengatakan Kerangka Sampel Area (KSA) yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai metode penghitungan luas baku lahan sawah tidak bisa menjamin sejauh mana proses sawahnisasi berjalan dengan baik.
"Artinya mereka menganggap sistem ubinan sebagai metode perkiraan hasil panen sudah tidak baik lagi. Tapi sejauh mana jaminan itu, bahwa dengan citra satelit bisa membedakan sawah yang umurnya 2 bulan atau 3 bulan," kata Entang, Rabu (5/12).
Menurut Entang, citra satelit tidak bisa mengukur mana sawah rusak atau semplak. Penggunakaan citra satelit membutuhkan kehati-hatian sehingga tidak merumuskan hasil akhir adanya kekeliruan data sampai 32 persen.
"Secara logika namanya satelit kan dari atas, dia tidak bisa mengukur sawah yang semplak. Saya kira harus hati-hati dalam menggunakan citra satelit dan jangan dengan serta merta mengatakan bahwa situasi yang lalu itu keliru benar sampai 32 persen," katanya.
"Harusnya BPS dan Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang) melihat juga jagungnya dimana. Kalau datanya dimuktahirkan apakah jagungnya berkurang. Lalu bagaimana dengan kedelai, bagaiaman dengan komunitas horti," katanya lagi.
Apalagi, setahu Entang, keputusan pemuktahiran data BPS dan BPN dilakukan tanpa ada koordinasi dengan Kementerian Pertanian. Padahal, Kementan selaku pemerintah yang fokus pada pertanian harus dilibatkan supaya tidak terjadi gaduh di kalangan Masyarakat bawah.
"Walau bagaimanapun juga, Kementerian Pertanian harus diajak ngobrol juga. Ini kan untuk menghilangkan kegalauan di masyarakat. Saya yakin, kementan juga membuat perencanaan berdasarkan data BPS, tidak mungkin mereka mengukur atas data sendiri," katanya.
Penyusutan Sawah
Sementara itu, saat ditanya apakah banyak lahan sawah yang meyusut dalam setiap tahun, Entang mengaku tidak bisa menjelaskan secara detail. Meski demikian, ia membantah jika sawahnisasi yang dicanangkan Kementerian Pertanian divonis gagal.
"Kita tidak bisa mengatakan sawanisasi gagal total. Pasti ada yang baik ada yang berhasil. Kebijakan itu harus kita hormati, harus ditopang oleh semua pihak. Kan untuk melakukan sawahnisasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. tapi bagaimana mengajak daerah, baik provinsi, kabupaten dan desa," katanya.
Menurut Entang, data BPS terbaru bahkan menyebutkan adanya penambahan sawah di pulau Jawa, utamanya Jawa Timur yang mengalami peningkatan sebesar 1000 hektar.
"Persoalan kita di lapangan adalah bawah sawahnisasi itu tidak mudah. di Jawa Barat saja bisa dikatakan hanya 600 hektar saja yang berhasil," katanya.
Setiap Tahun Ribuan Hektar Sawah Dicetak
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Pending Dadih Permana mengatakan selama 4 tahun ini Kementan telah mencetak 215.811 lahan baru yang berjalan sejak tahun 2015. Lahan tersebut dipastiakan sudah memberi hasil yang cukup baik.
"Sudah menghasilkan 20.070 hektar, kemudian tahun 2016 menghasilkan 129.096 dan tahun 2017 seluas 60.243 hektar," kata Pending.
Sedangkan pada sektor optimasi lahan rawa, konversi lahan rawa pada tahun 2016 mencapai luasan 3.999 hektar, tahun 2017 seluas 3.529 hektar dan pada tahun 2018 telah terelaisasi seluas 16.400 hektar.
Kepala Balai Besar Sumberdaya Pertanian, Kementan Prof. Dedi Nursyamsi menjelaskan, sekitar 70 persen lahan sawah di sejumlah daerah berkadar bahan organic rendah atau C-organik kurang dari 2 persen.
Kondisi ini bisa dipastikan kurang sehat karena tanah tidak masuk katagori terdegradasi yang bisa menurunkan produktivitas 50-60 persen.
"Jadi tidak benar jika dikatakan ada penurunan produktivitas lahan sawah mencapai 50-60 persen. Pencemaran residu pestisida dan logam berat akibat penggunaan pestisida berlebih hanya terjadi di lahan sayuran dataran tinggi. Bukan area persawahan," tandasnya. (*)