KPK Pelajari Soal Penerapan Hukuman Mati Pada Tersangka Kasus OTT Korupsi Bencana
(KPK) akan mempelajari terlebih soal penerapan hukuman mati dalam kasus suap proyek-proyek pembangunan SPAM di Kementeterian PUPR.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mempelajari terlebih soal penerapan hukuman mati dalam kasus suap proyek-proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2017-2018.
"Kami lihat dulu nanti, apa dia masuk kategori pasal 2 yang korupsi pada bencana alam yang menyengsarakan hidup orang banyak itu. Kalau menurut penjelasan di pasal 2 itu memang kan bisa di hukum mati, kalau dia korupsi pada bencana yang menyengsarakan orang banyak, nanti kami pelajari dulu," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Minggu dini hari.
Dalam pasal 2 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan.
(1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1 miliar (satu milyar rupiah).
Baca: Korupsi Proyek Penyediaan Air Minum untuk Tsunami Palu, Peran 4 Pegawai PUPR Mengatur Lelang
(2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Untuk diketahui, KPK total telah menetapkan delapan tersangka. Diduga sebagai pemberi antara lain Dirut PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto, Direktur PT WKE, Lily Sundarsih, Direktur PT Tashida Sejahtera Perkara, Irene Irma, dan Direktur PT TSP, Yuliana Enganita Dibyo,
Sedangkan diduga sebagai penerima antara lain Kepala Satuan Kerja SPAM Strategis/Pejabat Pembuat Komitmen SPAM Lampung, Anggiat Partunggal Nahot Simaremare, PPK SPAM Katulampa, Meina Woro Kustinah, Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat, Teuku Moch Nazar, dan PPK SPAM Toba 1, Donny Sofyan Arifin.
"Kami belum bisa putuskan ke sana nanti sejauh apa kalau memang itu relevan betul," ucap Situmorang.
Simaremare, Kustinah, Nazar, dan Arifin diduga menerima suap untuk mengatur lelang terkait proyek pembangunan SPAM Tahun Anggaran 2017-2018 di Umbulan 3-Pasuruan, Lampung, Toba 1, dan Katulampa.
Dua proyek lainnya adalah pengadaan pipa HDPE di Bekasi dan daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.
Untuk proyek tersebut, mereka menerima masing-masing sebagai berikut.
Simaremare menerima Rp 350 juta dan 5.000 dolar AS untuk pembangunan SPAM Lampung. Selanjutnya, Rp 500 juta untuk pembangunan SPAM Umbulan 3, Pasuruan, Jawa Timur.
Kustinah Rp 1,42 miliar dan 22.100 dolar Singapura untuk pembangunan SPAM Katulampa. Nazar Rp 2,9 miliar untuk pengadaan pipa HDPE di Bekasi dan Donggala, dan Arifin Rp 170 juta untuk pembangunan SPAM Toba 1.
Situmorang pun menyatakan, lembaganya telah mempelajari cukup lama terkait suap pada proyek-proyek tersebut.
"Ini kami pelajari cukup lama ya bukan setelah bencana, kami tidak spesial kemudian ketika bencana datang. Jadi, kami bukan "pemadam kebakaran" juga, artinya sudah didalami cukup lama kemudian ternyata di daerah bencana juga ada," kata dia.
KPK pun, kata dia, mengecam keras dan sangat prihatin karena dugaan suap tersebut salah satunya terkait proyek pembangunan SPAM di daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang baru saja terkena bencana tsunami pada September 2018 lalu.