''Kami Berlindung di Musala, Batu-batu Sebesar Rumah Tiba-tiba Menggelinding dari Bukit''
Cuaca buruk, kurangnya peralatan dan minimnya penerangan serta ancaman longsor susulan membuat puluhan lainnya tak berhasil segera ditemukan.
Editor: Choirul Arifin
Selesai menyelamatkan ibunya, Suherman pun kembali berlari ke lokasi rumah orang tuanya yang sudah roboh dan separuh terkubur. "Sayup terdengar suara ayah saya meminta tolong. Kami pun segera berupaya menyelamatkannya," kata Suherman.
Posisi sang ayah, Aham (65), ketika itu, kata Sugereman, terjepit reruntuhan rumah dan sangat sulit untuk dikeluarkan. Warga bahkan harus membawa dongkrak untuk mengangkat kayu yang mengimpit kaki Aham. Aham sempat terjebak di reruntuhan hampir selama empat jam.
Beruntung, meski sempat berjam-jam terjebak di reruntuhan rumahnya, Aham hanya menderita luka memar. Aham kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Palabuhanratu, yang jaraknya sekitar 40 menit dari lokasi.
Kengerian juga digambarkan Deden, warga Kampung Cigarehong. Deden mengatakan, longsor mulai terjadi sebelum azan Magrib berkumandang. Ketika itu Deden mendengar suara gemuruh sangat keras dari atas bukit.
"Kami langsung berlari ke musala dan berlindung di sana," ujar Deden. "Alhamdulillah, kami berhasil selamat walaupun sempat terkena runtuhan atap dan tembok."
Hingga kemarin, batu sebesar-besar rumah, yang menggelinding dari bukit saat longsor terjadi, masih terlihat di antara tanah bercampur lumpur yang mengubur perkampungan. Beberapa rumah yang masih terlihat hanya ytersisa atapnya hingga tampak seperti gundukan tanah.(ferri amiril mukminin/tribunnetwork)