Memasuki Puncak Musim Hujan, BNPB Minta Masyarakat Waspadai Bencana Hidrometeorolog
"Yang paling banyak itu puting beliung, ada 198 kejadian, banjir 84 kejadian dan longsor 76 kejadian," kata Sutopo Purwo Nugroho
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki puncak musim hujan pada Februari mendatang, bencana seperti banjir dan longsor memang kerap terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Bencana-bencana tersebut merupakan jenis bencana hidrometeorologi yang patut diwaspadai seiring semakin tingginya intensitas hujan yang mengguyur banyak daerah di tanah air.
Baca: BNPB Catat 79 Orang Tewas dan Ribuan Jiwa Mengungsi Akibat Banjir dan Longsor di Sulawesi Selatan
Dalam mengantisipasi kembali terjadinya bencana serupa, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun menggandeng sejumlah lembaga terkait, mulai dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kemudian Pusat Vulkanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG), hingga Ahli di bidang Hidrometeorologi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho pun menyampaikan selain bencana banjir dan longsor, ternyata ada bencana lainnya yang mendominasi jumlah peristiwa yang terjadi hingga 31 Januari 2019.
"Yang paling banyak itu puting beliung, ada 198 kejadian, banjir 84 kejadian dan longsor 76 kejadian," kata Sutopo Purwo Nugroho, di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Kamis (31/1/2019).
Terkait bencana banjir, Sutopo Purwo Nugroho mengimbau agar masyarakat yang tinggal di kawasan rawan untuk selalu mewaspadai pergerakan air.
"Waspada terhadap arus bawah, saluran air, kubangan dan tempat-tempat lain yang tergenang air," jelas Sutopo Purwo Nugroho.
Sementara bagi mereka yang memiliki hunian di wilayah rawan longsor seperti di perbukitan dan pegunungan, Sutopo Purwo Nugroho meminta agar masyarakat sadar dan tidak kembali mendirikan bangunan permanen di wilayah rawan tersebut.
Baca: Masa Tanggap Darurat Pascabencana Sulsel, BNPB: Proses SAR Masih Dilakukan
Karena selain akan merugikan diri mereka sendiri, pembangunan hunian permanen di wilayah tersebut akan semakin merusak lahan yang seharusnya tidak digunakan sebagai wilayah pemukiman penduduk.
"Tidak mendirikan bangunan permanen di daerah tebing dan tanah yang tidak stabil atau tanah gerak," papar Sutopo Purwo Nugroho.