Pengurus Parpol Membangkang, Nekat Daftar Jadi Anggota DPD Meski Sudah Dilarang: Ini Tanggapan MK
MK menilai Muhammad Hafidz yang pernah mengajukan diri sebagai calon DPD dalam Pemilu 2014, tidak memiliki kedudukan hukum.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai kedudukan sebagai negative legislator.
Menurut dia, sejalan prinsip supremasi pengadilan menegakkan prinsip supremasi konstitusi, maka putusan MK memiliki kedudukan sederajat dengan undang-undang.
Dia menjelaskan, jika undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang memperoleh kekuatan hukum mengikat setelah diundangkan, maka putusan MK mendapatkan kekuatan hukum mengikat atau memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan di sidang pleno yang terbuka untuk umum, sebagaimana ditegaskan di Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
“Jadi, sebagaimana halnya suatu undang-undang yang segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau pemerintah, maka suatu putusan Mahkamah Konstitusi pun segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau pemerintah, begitu selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,” kata Palguna, di gedung MK, Rabu (30/1/2019).
Baca: Fuad Bawazier: di Pemerintahan Jokowi, Utang Indonesia Naik 1,2 Triliun Per Hari
Pemaparan itu terkait uji materiil aturan mengenai amar putusan MK dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang diajuman Muhammad Hafidz.
MK menilai Muhammad Hafidz yang pernah mengajukan diri sebagai calon DPD dalam Pemilu 2014 tersebut, tidak memiliki kedudukan hukum.
Baca: Fadli Zon: Ahmad Dhani Dipenjara, Penegak Hukum Tak Profesional
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Palguna, MK berpendapat tidak terdapat kemungkinan bagi hadirnya penafsiran berbeda apalagi hingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap Pasal 57 ayat (1) UU MK, sebagaimana didalilkan Pemohon.
Sebab, kata Palguna, dengan rumusan norma di atas telah jelas dan tegas materi muatan suatu ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian itu telah kehilangan kekuatan mengikat sebagai norma hukum.
“Hilangnya kekuatan hukum mengikat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian suatu undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari pertentangan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang itu dengan UUD 1945,” kata Palguna membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 91/PUU-XVI/2018 itu.
Di kesempatan itu, dia menilai pendapat MK terkait adanya ancaman pidana yang dikenakan pada suatu pihak (KPU) yang hendak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 karena ada beberapa putusan Mahkamah Agung bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang hendak dilaksanakan oleh KPU.
Menurut dia, MK menilai ketidakpastian hukum yang timbul bukanlah diakibatkan ketidakjelasan rumusan Pasal 57 ayat (1) UU MK, melainkan semata-mata persoalan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Palguna memaparkan MK wajib menegaskan kembali bahwa sekalipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat deklaratif, hal itu bukan menandakan kelemahan daya ikat putusan MK
Sebaliknya, tegas dia, justru di situ letak kekuatan putusan MK. Ia menekankan jika MK telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi bukan hanya merupakan ilegal, namun juga inkonstitusional.
“Tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tegas Palguna.