Tiga Kata di RUU Permusikan yang Dinilai Berbahaya, Ada Kelenturan Penafsiran, Ancamannya Pidana
Direktur YLBHI Asfinawati menyoroti tiga kata dalam RUU Permusikan yang kini tengah jadi polemik di masyarakat.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Yasyasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyoroti tiga kata dalam RUU Permusikan yang kini tengah jadi polemik di masyarakat.
Ia mengatakan, menyoroti tiga kata tersebut untuk memperlihatkan tingkat kelenturan penafsiran dalam pasal-pasal yang ada dalam RUU tersebut.
Kelenturan penafsiran tersebut menurutnya berbahaya karena bisa mengakibatkan ancaman pidana terhadap para pelaku dalam belantika musik, khususnya para musisi.
"Sehingga kalau pasal ini diberlakukan, dalam bayangan saya maka banyak orang nanti akan dikait-kaitkan dengan peristiwa kekerasan yang terjadi padahal dia tidak pernah bermaksud seperti itu. Kemudian ada lagi, ada ancaman pemidanaan di bagian bawah RUU ini," kata Asfinawati dalam konferensi pers Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan pada Rabu (6/2/2019) di Kemang, Jakarta Selatan.
Baca: RUU Permusikan Menarik Perhatian, YLBHI: Musik, Buku, dan Film Adalah Indikator Demokrasi
Pertama ia menyoroti kata mendorong.
"Dalam melakukan proses kreasi setiap orang dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian. Ada lagi dilarang mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum. Apa maksud kata mendorong? Dalam makna hukum kata mendorong ini pasal karet," kata Asfinawati.
Ia mencontohkan, bisa saja kata tersebut dipakai untuk memidanakan seorang penyanyi yang bernyanyi di suatu tempat yang di dekatnya terdapat arena perjudian.
"Bisa saja, Tika misalnya bernyanyi. Terus kemudian terjadi perjudian di sudut sana yang tidak ada hubungannya. Kemudian polisi mengatakan, tuh kan ada yang bernyanyi, ada yang berjudi, nyanyian ini mendorong itu," kata Asfinawati.
Ia juga mempertanyakan apa arti kata memprovokasi dalan RUU Permusikan tersebut.
"Ada kata-kata memprovokasi terjadinya pertentangan. Apa maksud memprovokasi? Tidak jelas. Kalau lihat di kamus artinya mendorong orang sampai ada tumpah darah. Tapi kan ini bukan, bukan untuk mendorong orang tumpah darah antar kelompok. Ini sama dengan mendorong. Ini sangat karet," kata Asfinawati.
Ia juga mempersoalkan kata asing dalam konteks "membawa pengaruh negatif bidaya asing" dalam salah satu ayat pada pasal 5 RUU tersebut.
Asfinawati mempertanyakan apakah budaya asing adalah sesuatu yang negatif atau budaya yang negatif dari budaya asing itu sendiri.
"Kalau soal asing ini dipersoalkan, mungkin tidak ada satu pun negara di dunia ini yang asli. Demokrasi. Dulu kita nggak pakai kaos seperti ini. Nggak ada kamera dan lain-lain. Itu juga asing. Jadi bagaimana ini, apakah yang asing ini berlaku untuk semua?" kata Asfinawati.
Selain itu ia juga menyoroti kalimat merendahkan harkat dan martabat manusia yang ada dalam RUU tersebut.
Ia pun mengatakan ada lirik karya musisi yang sengaja memunculkan kalimat, kata, atau frasa tentang pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan kekerasan seksual untuk menggambarkan peristiwa perendahan harkat dan martabat manusia.
"Maksudnya adalah mereka mau mengangkat kekerasan seksual, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan. Tapi perlu disebut kata itu. Nanti yang kena kreatornya," kata Asfinawati.