Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dua Menteri Beda Pendapat soal Mafia Beras: Amran Akui Ada Tapi Mentan era SBY Meragukannya

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengakuan beras kerap dipengaruhi dengan banyaknya mafia yang mengambil keuntungan.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Dua Menteri Beda Pendapat soal Mafia Beras: Amran Akui Ada Tapi Mentan era SBY Meragukannya
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Menteri Pertanian Amran Sulaiman 

Gudang beras yang menjadi markas pemalsuan beras itu merupakan milik PT Indo Beras Unggul (IBU). kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang ikut serta dalam penggerebekan, diduga dilakukan praktik curang dengan mengganti kemasan beras bersubsidi dengan kemasan baru yang bermerek dan berkualitas.

PT IBU merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS). Selain PT IBU, PT TPS juga memiliki anak perusahaan serupa yaitu PT SAKTI. Dalam situs resmi PT TPS, tigapilar.com, disebutkan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPSF) merupakan perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003 yang pada awalnya hanya bergerak di bisnis makanan (TPS Food).

Dalam laman jajaran direksi dan dewan komisaris situs tersebut, terdapat nama mantan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono. Anton yang merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) duduk sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Independen.

Sementara Wakil Komisaris PT TPS adalah Kang Hongkie Widjaja. Ada juga nama penggiat kuliner Bondan Haryo Winarno sebagai Komisaris Independen.

Dalam keterangan persnya, Jumat 21 Juli 2017, Kepala Bareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dari hasil penggerebekan itu diketahui PT IBU dan PT SAKTI menjual beras subsidi yang sudah dioplos atau dipalsukan menjadi beras premium dengan harga lebih tinggi dari seharusnya.

Anton menguraikan, apabila yang dikategorikan sebagai mafia adalah pengusaha yang menyimpan stok beras di gudang dalam jangka waktu tertentu, maka hal tersebut hampir tidak mungkin terlaksana secara baik. Pasalnya, beras merupakan bahan makanan yang bisa saja rusak jika disimpan terlalu lama.

"Beras itu ada maksimal penyimpanannya, kalau disimpan terus-terusan ya pasti rusak," urai Anton.

Berita Rekomendasi

Sebaliknya, beras juga tidak bisa secara serta-merta dilempar ke pasar begitu saja usai panen. Baik penjual maupun konsumen tidak mungkin menyimpan cadangan dalam jumlah banyak. "Ya mau disimpan di rumah? Paling berapa banyak? Tidak mungkin sampai ton kan? Mekanisme distribusi ini juga kan yang atur Bulog," kata Anton.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu justru menyebut apabila mafia beras yang dimaksud adalah tengkulak, maka Bulog lah yang bermitra paling besar dengan mereka.

Para pengusaha beras, tidak memiliki kesempatan yang luas untuk mengoordinir dengan para tengkulak. Jika ada, maka harga yang dibeli dari petani seusai dengan aturan.

"Kalau yang dilakukan oleh pengusaha itu pasti harganya layak kepada para petani, karena ada aturannya. Nah tengkulak atau yang disebut oleh Bulog ini sebagai Mitra, justru yang paling banyak memasok ke Bulog. Karena apa? Karena yang memiliki jaringan luas itu ya Bulog di hampir seluruh Indonesia," ungkapnya.

Sementara para pengusaha, hanya dapat melakukan pembelian kepada para petani dalam skala daerah. Itu pun, jelas dia, tidak dalam jumlah yang besar. Pun begitu dengan gudang para pengusaha yang tidak jauh lebih besar dibanding dengan gudang milik Bulog.

"Contoh, TPS saja ya yang kasus Solo Raya. Itu hanya 8 persen dari penyerapan para petani. Apa ini yang disebut mafia? Lagipula, tidak ada pengusaha yang punya gudang lebih besar dari Bulog. Jadi untuk penyimpanan yang paling besar ya Bulog," lanjut Anton, kini dosen Teknologi Pangan Universitas Bakrie.

Mengenai impor beras yang kerap kali dilakukan pemerintah, hal tersebut wajar. Setiap negara pasti mengimpor apabila tidak memiliki cadangan di dalam negeri. Menjadi perhatian pemerintah, seharusnya, jangan ada lagi konversi lahan sawah menjadi bangunan atau gedung tinggi.

Meski demiakian, Anton mengakui ada kemungkinan impor beras juga memiliki kepentingan untuk memperkaya diri sendiri atau golongan. "Tapi, sejauh ini saya masih menyikapi ini menjadi suatu hal yang wajar saja. Tidak ada yang aneh dari impor," ujar dia. (tribun network/amryono prakoso/deni reza)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas