Persaingan Global Kian Ketat, Pemerintah Harus Dorong IPC Jadi Trade Facilitator
Pemerintah harus jeli membaca peta dan arah persaingan global yang cenderung melahirkan aliansi pelabuhan, shipping line dan pelaku industri
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah harus memberikan dukungan kongkret untuk merespons transformasi PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) / IPC menjadi trade facilitator.
Dukungan tersebut di antaranya dengan mengondisikan regulasi serta mengembangkan infrastruktur penunjang.
Dengan demikian, pelabuhan bisa mendekatkan dan memudahkan aktivitas produksi, ekspor-impor, yang didukung aliansi shipping line serta jaringan pelaku industri.
“Pemerintah berperan sangat sentral. Sebagai regulator, pemerintah bisa mengondisikan regulasi yang mempercepat terbangunnya ekosistem kepelabuhanan,” ujar Direktur The National Maritie Institute (Namarin), Siswanto Rusdi MN dalam keterangan pers, Jumat (22/3/2019).
Menurutnya, pemerintah harus jeli membaca peta dan arah persaingan global yang cenderung melahirkan aliansi yang melibatkan pelabuhan, shipping line dan pelaku industri.
Kolaborasi tersebut cenderung memperkecil biaya operasional logistik dan mengangkat nilai tambah barang-barang produksi, dan bahkan bisa mendatangkan market baru.
Saat ini kapal-kapal ukuran raksasa sudah rutin keluar masuk terminal JICT ataupun Kalibaru (New Priok Container Terminal 1 atau NPCT 1).
"Bahkan di Kalibaru, sudah ada beberapa crane Super Post Panamax, yang memang dikhususkan untuk bongkar muat kapal kontainer raksasa dengan kapasitas di atas 10 ribu TEUs,” ujarnya.
Dalam konteks ini, pelabuhan seperti IPC bisa menjadi trade facilitator berskala internasional.
Infrastruktur dan suprastrukturnya bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan modern seperti Singapura.
“Kapal-kapal ukuran raksasa sudah rutin keluar masuk terminal JICT ataupun Kalibaru (New Priok Container Terminal 1 atau NPCT 1). Bahkan di Kalibaru, sudah ada beberapa crane Super Post Panamax, yang memang dikhususkan untuk bongkar muat kontainer raksasa dengan kapasitas di atas 10 ribu TEUs,” ujarnya.
Di beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura, kata Siswanto, pemerintah memberi kelonggaran kepada pengelola pelabuhan untuk kreatif melakukan ekspansi mengembangkan jaringan hingga ke lembaga perbankan, asuransi, termasuk dengan instasi pemerintahan sendiri.
“Di pelabuhan Singapura, misalnya. Salah satu yang menarik disana adalah adanya fasilitas feeder tak berbayar. Buat eksportir, ini tentu meringankan,” ujarnya.
Mengenai aksi penolakan perpanjangan kontrak JICT dengan Hutchison oleh sebagian anggota Serikat Pekerja JICT, Siswanto menilai aksi terbut kontraproduktif.
Pasalnya, kerja sama JICT dengan Hutchinson berhasil memperluas pasar dan konsumen IPC.
“Bisa dilihat dari naiknya arus peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok dalam beberapa tahun belakangan. Tahun 2018 arus peti kemas di Priok tembus 6 juta TEUs ,” ujarnya.
Jika ada dugaan pelanggaran hukum di sana, lanjut Siswanto, serahkan saja kepada penegak hukum apalagi BPK sudah bekerja.
Pengamat industri kemaritiman ini menilai, penolakan perpanjangan kontrak JICT-Hutchinson telah ditunggangi segelintir pekerja di SP JICT yang menginginkan rasionalisasi.
“Sesuai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara manajemen dan pekerja JICT, jika rasionalisasi dilakukan perusahaan harus membayar kompensasi yang nilainya sangat besar. Mereka berjuang untuk keuntungan sendiri, bukan soal nasionalisme,” ujarnya.