Pengumuman Hasil Quick Count Berpotensi Mempengaruhi Pilihan Sebagian Pemilih
Selain itu, secara metodologi, quick count bukanlah bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat karena di dalamnya masih mengandung rentang
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut pengumuman hasil penghitungan cepat atau quick count berpotensi mempengaruhi pilihan sebagian pemilih.
Hal ini merupakan salah satu pertimbangan hukum MK menolak gugatan uji materi terkait aturan publikasi hasil survei dan hitung cepat pada Pemilu 2019.
"Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis sekedar ingin menjadi bagian dari pemenang," kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/4/2019).
Apalagi, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, pertimbangan perihal budaya hukum dan budaya politik masyarakat turut pula menjadi faktor determinan terhadap tercapai atau tidaknya maksud mewujudkan kemurnian suara pemilih yang hendak dicapai oleh asas jujur dan adil dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, secara metodologi, quick count bukanlah bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat karena di dalamnya masih mengandung rentang kesalahan atau margin of error.
Baca: Masyarakat Dilarang Mobilisasi Massa Pasca Hasil Quick Count Keluar, Polri Siap Tindak Tegas
"Dengan demikian, sekecil apapun margin of error dalam metodologi quick count yang digunakan hal demikian tetap berpengaruh terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam margin of error tersebut. Artinya, keandalan quick count adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut," kata dia.
Dengan demikian, pembatasan dalam bentuk penundaan pemenuhan hak untuk memberikan dan memeroleh informasi sebagaimana diuraikan di atas yang disebabkan oleh perbedaan wilayah waktu tersebut masih memenuhi syarat pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
"Dengan pertimbangan demikian, dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum," tambahnya.
Selain itu, dalam pertimbangannya, MK menyebut pengaturan dalam Pasal 449 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dimaksudkan untuk melindungi kemurnian suara pemilih.
"Dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, kemurnian suara pemilih, terutama untuk pemilih yang sedang memberikan suaranya di wilayah Indonesia bagian barat yang mana penyelenggaraan pemilunya lebih lambat 2 (dua) jam dari Indonesia bagian timur dan lebih lambat 1 (satu) jam dari Indonesia bagian tengah, harus tetap dijaga karena pemungutan suarnya belum selesai dilaksanakan," kata Palguna.
Perbedaan pembagian waktu di Indonesia ini dengan yang lain adalah selama satu jam. Dengan demikian penyelenggaran pemilu di Indonesia bagian timur lebih cepat dua jam daripada Indonesia bagian barat. Demikian pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia bagian tengah lebih cepat satu jam daripada di Indonesia bagian barat.
Selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah WIT memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan.
Untuk diketahui, MK menangani uji materi setelah pemohon mengajukan permohonan.
Baca: Soal Putusan Hitung Cepat MK, KPU Perlu Perjelas Waktu Penutupan TPS
Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.
Pemohon beralasan, dengan dihidupkannya kembali frasa “larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang” dan “pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” beserta ketentuan pidananya dalam UU Pemilu, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.
Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya.
Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.
Sebagaimana diketahui, seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3April 2014.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.