Jonggol Nyaris Jadi Ibu Kota RI di Era Ode Baru, Kenapa Akhirnya Batal? Padahal Sudah Ada Keppres
Pada masa Orde Baru pernah disebut-sebut tentang kawasan Jonggol Jawa Barat, yang katanya juga dipersiapkan sebagai ibukota negara.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Malah sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi belakangan proyek itu ternyata cuma akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat.
Begitu rezim Soeharto tumbang, rencana pun terbengkalai. Yang tertinggal sekarang hanyalah kerusakan hutan lindung saja. Rencana tinggal rencana, yang jelas kondisi Jakarta kini sudah memasuki lampu kuning.
Dalam pemikiran Herdianto, masalahnya bukan hanya sekadar bencana alam seperti banjir, tapi juga daya dukung kota ini.
Jika dihitung menggunakan metode tapak ekologis (ecological footprint) yaitu menghitung luasan lahan produktif yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan jasa lingkungan penduduk kota, diketahui daya dukung Jakarta ternyata cuma untuk enam juta orang saja.
"Artinya sejak tahun 1986 sudah terlampaui," jelas Herdianto.
Dengan situasi seperti itu, wajar jika akhirnya muncul berbagai masalah yang mencekik leher warganya sendiri.
Kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi, perumahan yang terbatas, air tanah yang tercemar, sampai wabah penyakit yang selalu terjadi setiap tahun. Sejumlah ahli bahkan meramalkan, situasi ini bakal semakin memburuk tahun demi tahun ke depan.
Bangunan-bangunan tinggi nan megah, jalanan mulus, insfrastruktur yang relatif baik di Jakarta seolah tidak ada artinya. Masalahnya, tingkat ketaatan masyarakat terhadap peraturan masih sangat rendah.
Pelanggaran bisa terjadi di mana-mana dan dilakukan siapa saja. Yayat menilai, situasi itu adalah bukti gagalnya proses transisi dari daerah tradisional ke kota modern.
Masalah juga bisa timbul dari pejabat pemerintah daerah yang menurut Yayat tidak konsisten menerapkan perencanaan yang tertuang dalam rencana tata ruang.
Banyak bangunan yang menyimpang dari rencaa yang semestinya bersifat jangka panjang itu.
“Busway dan jalan tol dalam kota itu bagus, tapi tidak ada dalam rencana tata ruang,” kata pria kelahiran Medan 1965 itu.
Padahal pembangunan yang jelas-jelas juga merusak perencanaan awal, jumlahnya lebih banyak lagi.
Ada juga andil segelintir orang pemegang modal yang membuat perencanaan kota menjadi berantakan. Dengan segepok uang, perencanaandiatus agar berpihak ke mereka. Dalam istilah Yayat, rencana tata ruang DKI hanya promarker dan bukan pro-rakyat.