KPU Siap Hadapi Gugatan Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) siap menghadapi gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Malvyandie Haryadi
Pada poin pertama, Refly menjelaskan kemampuan kuasa hukum BPN untuk mampu membuktikan terjadinya dugaan kecurangan Pilpres yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) akan sangat menentukan.
Hal ini karena dalam materi permohonan gugatan yang diajukan ke MK, kuasa hukum BPN dianggap lebih mengedepankan pendekatan kualitatif yang alat ukurnya TSM.
"Saya lihat permohonan gugatan BPN, ada dua aspek yang mau didorong yaitu kualitatif dan kuantitatif. Aspek kualitatif ini lebih didahulukan, terbukti argumentasinya itu didahulukan. Saya catat ada lima, pertama penggunaan dana APBN atau program pemerintah untuk memenangkan calon 01, kedua soal netralitas aparat dalam hal ini kepolisian dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, restriksi media (pembatasan media), kelima dikriminasi penegakan hukum. Ini yang mereka (BPN,-Red) masalahkan dan dianggap berpengaruh terhadap hasil pemilu," ujar Refly.
Lantaran hal itu, lanjut Refly, penting bagi BPN untuk bisa membuktikan pelanggaran yang terkategori TSM itu.
Tak hanya itu, jika BPN mampu membuktikan terjadinya pelanggaran Pemilu terkategori TMS, derajat terbuktinya pun harus kuat.
"Ada dua hal yang harus dilakukan kubu 02 , pertama membuktikan bahwa lima hal itu terjadi. Dan saya kira (bukti berupa) link berita tidak bisa berdiri sendiri, harus ada bukti-bukti lain yang mendukung. Kalau ini terbukti, lalu derajat terbuktinya itu. Kalau derajat terbuktinya itu mampu menggedor doktrin TSM ya maka peluang (memenangi gugatan) ada. Kalau tidak ada peluang menggedor kesana, peluang kecil sekali," ungkap Refly.
Baca: PDIP, Nasdem, dan Hanura Tangerang Ajukan Gugatan Hasil Pileg ke Mahkamah Konstitusi
Selanjutnya, menurut Refly, poin kedua yang bakal menentukan adalah paradigma hakim-hakim MK.
Saat ini, kata Refly, terdapat tiga paradigma yang ada.
Paradigma pertama, paradigmanya sederhana sekali yakni hanya menyangkut soal hitung-hitungan saja.
"Kalau terbukti dikabulkan, tidak terbukti ya ditolak. Jadi tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang," katanya.
Lalu, paradigma kedua adalah paradigma hakim MK yang mulai muncul di tahun 2008 saat MK dipimpin Mahfud MD.
Saat itu, MK tak lagi bicara sekedar hitung-hitungan karena MK di bawah kepemimpinan Mahfud memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang yang sebenarnya tidak diatur dalam hukum acara.
Sedangkan paradigma ketiga yang diusulkan Refly Harus adalah seharusnya MK tidak lagi bicara soal TSM, hitung-hitungan suara yang memang menjadi hukum formil, tetapi bicara fungsi MK sebaga penjaga konstitusi.