Usul Wacana Referendum Rakyat Aceh, Wiranto Anggap Mualem Kecewa Kalah Pemilu
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menduga mantan panglima GAM Muzakir Manaf kecewa menerima hasil Pemilu 2019.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menduga mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf alias Mualem kecewa menerima hasi Pemilu 2019.
Sebab perolehan Partai Aceh anjlok, dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno juga kalah.
Apalagi sebelumnya, pada pemilihan gubernur 2017, Wakil Gubernur Aceh petahana Muzakkir Manaf ikut maju pada Pilgub Aceh menggandeng Ketua DPD Partai Gerindra Aceh Teuku Al Khalid, namun tidak terpilih.
Mungkin kekalahan beruntun itu membuat Muzakir Manaf kecewa, lalu emosional melontarkan keinginan agar rakyat Aceh menggelar referendum, seperti cara Timor Leste merdeka dari Indonesia pada 30 Agustus 1999.
Menurut Wiranto wacana refrendum Aceh muncul akibat kekecewaan kalah dalam pemilihan umum.
"Ya sangat boleh jadi lah. Mungkin ada kekecewaan karena pilgub kalah, sekarang Partai Aceh juga mungkin kursinya merosot ya," kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Menurut Wiranto, Partai Aceh yang dipimpin Muzakir Manaf memang mengalami penurunan perolehan kursi dalam setiap pemilu.
Pada 2009, di awal keikutsertaan dalam pemilu, Partai Aceh mendapat 33 kursi di parlemen Aceh. Kemudian, pada 2014, Partai Aceh hanya mendapat 29 kursi.
Menurut Wiranto, pada pemilu 2019, Partai Aceh hanya mendapat 18 kursi.
Wiranto mengatakan, wacana refrendum di Aceh sudah tidak relevan. Aturan mengenai refrendum telah dibatalkan melalui sejumlah payung hukum.
Muzakir Manaf selain menjabat Ketua Umum DPA Partai Aceh juga ketua dewan penasihat Partai Gerindra Aceh, sekaligus ketua tim pemenangan pasangan Prabowo-Sandi untuk Aceh pada Pilpres 2019.
Ia wakil gubernur Aceh satu peride, 25 Juni 2012 – 25 Juni 2017 berpasangan dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Hanya Emosi
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menilai, isu referendum di Aceh muncul disebabkan emosi semata.
"Isu itu bukan hal yang fundamental. Itu hanya emosi. Emosi karena enggak menang," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, kemarin.
Menurut Moeldoko, isu itu dimunculkan karena Partai Aceh tidak memenangkan suara di Aceh sehingga muncul ketidakpuasan dari para pemimpinnya. Isu referendum pun dipakai.
Mantan Panglima TNI itu juga menilai, isu itu tidak akan memengaruhi masyarakat. Itu diyakini hanya akan berada sebatas wacana akademik.
Dikutip dari Serambinews.com, Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem mengeluarkan pernyataan yang menghentak, Senin (27/5/2019) petang.
Wiranto memastikan referendum tidak akan terjadi di Indonesia.
"Masyarakat kami harapkan tidak mempermasalahkan itu dan tidak kemudian terjebak pada hoaks," ujar Wiranto sesuai memimpin rapat koordinasi, kemarin.
Menurut Wiranto, publik sudah memahami bahwa referendum tidak lagi berlaku dalam sistem pengambilan keputusan di Indonesia.
Hal ini terlihat dari jumlah pemberitaan dan pembicaraan soal referendum di media sosial yang angkanya hanya sedikit.
"Angkanya sangat kecil, hanya 1 persen dari lalu lintas media sosial yang membahas referendum," kata Wiranto.
Kritik Demokrasi
Wacana menggelar referenum disampaikan Mualem saat memperingati Haul Ke-9, Almarhum Tgk Muhammad Hasan Ditiro (3 Juni 2010-3 Juni 2019) sekaligus buka puasa bersama di Amel Convention Hall, Banda Aceh, Senin (27/5/2019).
Kegiatan itu diselenggarakan Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA) dan Komite Peralihan Aceh (KPA), dua organisasi yang dipimpin Mualem.
Dalam acara itu hadir Pangdam IM Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko, Kapolda Aceh Irjen Pol Rio S Djambak, Kajati Aceh Irdam, dan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Mualem menyampaikan alasan mengusulkan wacana referendum. Mualem mengatakan salah satu alasannya karena keadilan dan demokrasi di Indonesia.
"Kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia di ambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja," kata Mualem.
"Karena, sesuai dengan Indonesia, tercatat ada bahasa, rakyat, dan daerah (wilayah). Karena itu, dengan kerendahan hati, dan supaya tercium juga ke Jakarta, hasrat rakyat dan bangsa Aceh untuk berdiri di atas kaki sendiri," ujar Mualem.
Terkait wacana referendum Aceh yang dilontarkan Mualem tersebut, Harian Serambi Indonesia/Serambinews.com, Kamis (30/5/2019) menghubungi Mualem untuk menanyakan keseriusan atas ucapannya itu.
Mualem tidak bersedia lagi memberi penjelasan.
"Saya minta maaf, tidak saya komen lagi masalah ini, karena sudah panas. Kita lihat dulu (keadaan), tapi kita jalan terus sedikit-sedikit," katanya melalui sambungan telepon.
Gagasan referendum Mualem mendapat respons positif dari berbagai pihak, meskipun banyak juga yang kontra.
Tiga senator Aceh, Fachrul Razi, Rafli Kande, dan Ghazali Abbas Adan secara terang-terangan memberi dukungan atas wacana tersebut.
Dukungan yang sama juga disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Partai Aceh (PA) Kabupaten Pidie, H Sarjani Abdullah yang mengatakan bahwa referendum bukan masalah internal Partai Aceh, tapi masalah kepentingan bangsa Aceh ke depan.
Karena itu, yang berhak mengeluarkan pernyataan atau statement referendum adalah mereka sebagai pejuang Aceh, bukan partai politik (parpol).
"Maka siapa saja pejuang Aceh berhak memperjuangkan referendum," kata Sarjani Abdulah.
Sementara tokoh referendum Aceh tahun 1999, Muhammad Nazar mengingatkan semua pihak, terutama politisi, agar tidak menjebloskan rakyat Aceh kepada sesuatu yang usang.
"Bèk culok rakyat Aceh lam mon tuha," ujarnya di Jakarta, Rabu (29/5/2019) malam, yang artinya; Jangan jeboskan rakyat Aceh ke dalam sumur tua.
"Rakyat Aceh sudah seharusnya pintar menilai, supaya ke depan Aceh tak terjebak lagi dalam permainan gendang’ orang lain," kata Nazar.
Nazar justru menyarankan, para tokoh Aceh sebaiknya memikirkan dan menyiapkan Aceh dalam pembangunan dan menghadapi berbagai kemungkinan Indonesia ke depan.
"Aceh dan luar Jawa harus siapkan diri menghadapi segala kemungkinan, tapi tidak mesti referendum," ujarnya.
Mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Fauzan Azima, angkat bicara terkait wacana referendum yang dilontarkan Muzakir Manaf.
Menurut Fauzan, saat ini Aceh baru saja 'menempel luka’ dengan perdamaian di Helsinki, Finlandia.
"Karenanya, dengan alasan apapun, mantan GAM jangan lagi menorehkan luka baru," harap Fauzan.
Perdamaian RI dan GAM, bukanlah akhir dari tanggung jawab sosial dan sejarah para mantan GAM terhadap tanah dan rakyat Aceh. Tanggung jawab tersebut masih harus diwujudkan.
"Paling kurang, adalah pemenuhan secara sempurna butir-butir MoU Helsinki pada tahun 2005. Kita tidak berharap sejarah mencatat bahwa GAM menjadikan rakyat Aceh sebagai tumbal dalam mewujudkan ambisi kelompok dan golongan melalui wacana referendum ini," ungkap Fauzan. (Tribun Network/Kompas.com)