Jika Mangkir saat Dipanggil KPK, Sjamsul Nursalim dan Istri Akan Dijadikan 'DPO'
Untuk mengupayakan Sjamsul dan Itjih datang ke Indonesia untuk dapat diperiksa, KPK telah melayangkan surat panggilan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, lanjut Laode, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta yang bersangkutan menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun Sjamsul menolak.
"Pada bulan Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang penambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan Pihak Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih serta pihak lain pada rapat tersebut Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi," katanya.
Laode menyebutkan pada Februari 2004, dilakukan rapat kabiner terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (penghapusbukuan).
Hanya saja hal itu dilakukan dengan tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsil. Ratas tersebut tidak memberika keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.
Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan namun pada, pada 12 April 2004, Syafrudin Arsyas Temenggung dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.
"Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat No.SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul," kata Laode.
Hal ini, ucap Laode mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang. Selanjutnya, tutur Laode, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih hutang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).
"Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp 220.000.000.000,- padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun, Sehingga, diduga kerugian Keuangan Negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 Triliun," paparnya.
Sjafrudin sendiri telah divonis dan diganjar hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.
Baca: Taman Belangi, Objek Wisata Baru Warga Bireuen
Baca: Konawe Diterjang Banjir, Ribuan Warga Mengungsi