Kementerian KLH Targetkan Penetapan 6,53 Juta Hektare Lahan Jadi Hutan Adat
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam lima tahun menargetkan penetapan 6,53 juta hektare lahan hutan menjadi hutan adat.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam lima tahun menargetkan penetapan 6,53 juta hektare lahan hutan menjadi hutan adat.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Siti Nurbaya mengatakan, dalam menetapkan hutan adat secara definitif perlu melalui proses politik yang sangat panjang.
Sehingga, Kementerian KLH melakukan penetapan wilayah indikatif untuk hutan adat.
"Itu sebagai upaya percepatan, kenapa kita tetapkan itu? supaya tidak diganggu-ganggu lagi oleh kepentingan lain, supaya masyarakat bisa secure, merasa aman, sambil proses di Pemda dan DPRD," ujar Siti di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Baca: Persiapan Fisik dan Spiritual Ketua Mahkamah Konstitusi Jelang Sidang Sengketa Pilpres 2019
Menurutnya, dalam tahap pertama, wilayah indikatif hutan sudah dikeluarkan seluas 472 ribu hektare dengan target 6,53 juta hektare.
"Saya minta ke pak Dirjen jangan lama-lama, dan tiap bulan harus ditambah terus. Jadi instrumen-instrumen ini pada dasarnya sesuatu yang kita rancang, kita kerjakan, dan kita aplikasikan, itulah ciri-ciri keseriusan pemerintah," papar Siti.
Baca: Remaja Asal Cianjur Tenggelam saat Bermain di Pantai Air Manis Padang
Penetapan 6,53 juta hektare menjadi hutan adat merupakan usulan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Awalnya terdapat 9,3 juta hektare area hutan yang diusulkan sebagai hutan adat.
Namun, setelah dilakukan pencocokan dengan data peta kawasan hutan, angkanya berkurang menjadi 6,53 juta hektare.
Soal RUU Masyarakat Hukum Adat
Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat belum juga jelas, meski sudah melewati dua pemerintahan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono hingga Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan dalam hal RUU Masyarakat Hukum Adat yang menjadi kepala sektornya yaitu Kementerian Dalam Negeri dan telah dilakukan pembahasan di DPR.
"Tanyakan ke Kementerian Dalam Negeri (perkembangannya), kami sebagai salah satu pihak yang diundang waktu itu (rapat di DPR)," ujar Sofyan di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Baca: Respons Ketua Setara Institute Sikapi Diungkapnya Aktor-aktor Kerusuhan 22 Mei Oleh Polri
Menurut Sofyan, dalam persoalan RUU tersebut, dirinya baru melaksanakan rapat dengan DPR satu kali dan hingga saat ini belum dijadwalkan pertemuan kembali dengan parlemen.
"Mungkin karena ada pemilihan umum dan lainnya, belum ada rapat berikutnya," kata Sofyan.
Baca: 6 Terduga Teroris Ditangkap di Bekasi dan Palangkaraya: Berikut Keterlibatan dan Tindak Tanduknya
Sementara Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya meminta pertanyaan terkait RUU Masyarakat Hukum Adat ditanyakan kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
"Kalau RUU Masyarakat Adat jangan tanya ke saya yah, mungkin Menkumham atau Mendagri," kata Siti di tempat yang sama.
DPR targetkan selesaikan 5 RUU
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan sisa waktu masa jabatan anggota DPR RI yang tinggal beberapa bulan lagi, tidak membuat semangat dan kinerja DPR mengendor.
Bamsoet, panggilan akrabnya, menyatakan seluruh fraksi di DPR RI telah bersepakat untuk fokus menuntaskan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas.
"DPR RI terus berkoordinasi dengan pemerintah agar dalam sisa masa waktu jabatan yang akan berakhir pada bulan September 2019, dapat secara maksimal menyelesaikan RUU yang masuk prioritas. Pimpinan dewan juga terus melakukan rapat konsultasi dalam rangka akselerasi penyelesaian RUU dengan Pimpinan AKD dan Pansus yang menangani RUU," kata Bamsoet usai bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly, di ruang kerja Ketua DPR RI, yang kemudian dilanjutkan rapat konsultasi pimpinan dengan para ketua pansus dan panja RUU dan ketua-ketua Komisi di ruang rapat pimpinan DPR di Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain Wakil Ketua DPR RI Utut Hadiyanto, Wakil Ketua DPR RI Fachri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, para Pimpinan Komisi.
Baca: Kalap Para Istri Saling Hina, Priono Ajak Eko Pesta Miras, Lalu Membunuh dan Membakar Jasadnya
Baca: Kaget dengan Candaan Andre Taulany, Virzha Berharap Ini Jadi Pelajaran
Baca: BPN Prabowo-Sandi Tidak Akan Tempuh Jalur MK, Dahnil: Ada Makar yang Masif Terhadap Hukum Kita
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini mengungkapkan, hingga Masa Sidang V DPR RI yang akan berakhir pada tanggal 25 Juli 2019, setidaknya ada lima RUU diharapkan bisa disahkan.
Lima RUU tersebut yaitu RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Jabatan Hakim, RUU Pemasyarakatan, RUU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta RUU Ekonomi Kreatif.
"Berdasarkan hasil rapat koordinasi antara pimpinan DPR, pimpinan komisi DPR I, pimpinan Pansus DPR RI dan Pimpinan Legislasi DPR RI, kita optimis lima RUU tersebut bisa diselesaikan pada masa sidang ini. Pada masa sidang berikutnya yang akan dimulai bulan Agustus hingga September 2019, diharapkan ada empat RUU lagi yang bisa diselesaikan, yakni RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, RUU Perkoperasian serta RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi," jelasnya.
Secara khusus legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Kebumen dan Banjarnegara ini sangat berharap RUU KUHP bisa diselesaikan pada masa sidang ini.
Sehingga, bisa menjadi kado terindah saat HUT kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus mendatang.
"DPR dan pemerintah memandang urgent menyelesaikan RUU KUHP karena sampai saat ini kita masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda. Jika saja DPR dan pemerintah dapat merampungkan pembahasan RUU KUHP tersebut akan menjadi ‘legacy’, sekaligus hadiah terindah dalam rangka peringatan HUT kemerdekaan RI Ke-74 pada tanggal 17 Agustus 2019,” tutur Bamsoet.
Lebih jauh Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengingatkan kembali tanggungjawab penyelesaian RUU tidak hanya terletak di tangan DPR RI saja.
Pemerintah pun memiliki tanggungjawab yang sama. Sebab, sebuah RUU tidak dapat diselesaikan tanpa adanya pembahasan serta keputusan bersama antara DPR RI dan pemerintah.
"Hambatan yang sering dihadapi DPR RI dalam pembahasan RUU adalah ketidakhadiran menteri yang diberikan tugas oleh presiden untuk melakukan pembahasan di DPR RI. Untuk memaksimalkan capaian legislasi, pimpinan dewan sepakat akan mengirimkan surat kepada menteri terkait untuk aktif hadir dalam pembahasan RUU. Ketidakhadiran menteri ini sudah pernah kita disampaikan kepada presiden karena sangat mengganggu kinerja legislasi DPR,” pungkas Bamsoet.