Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Denny Indrayana 41 Kali Pakai Kata 'Indikasi' dan 'Patut Diduga', Yusril Jelaskan Artinya

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut optimis permohonan kubu 02 akan ditolak Mahkamah Konstitusi.

Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Denny Indrayana 41 Kali Pakai Kata 'Indikasi' dan 'Patut Diduga', Yusril Jelaskan Artinya
Tribunnews/Jeprima
Ketua Tim Hukum Tim Kampanye Nasional (TKN), Yusril Ihza Mahendra membacakan jawaban dari pihak terkait atas tuntutan dari pemohon Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) pada sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019). Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau Sengketa Pilpres 2019 mengagendakan pembacaan tanggapan pihak termohon dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait dalam hal ini TKN. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Hukum kubu Jokowi-Maruf, Yusril Ihza Mahendra, menyebut Denny Indrayana menggunakan kata ‘indikasi’ dan ‘patut diduga’ saat membacakan permohonan dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 41 kali.

Denny Indrayana merupakan kuasa hukum dari kubu 02 Prabowo-Sandiaga.

Permohonan kubu Prabowo-Sandiaga dibacakan, Jumat (14/6/2019).

“Pak Denny Indrayana banyak menggunakan kata ‘indikasi’ dan ‘patut diduga’ saat membacakan permohonan, ada kira-kira sebanyak 41 saya hitung," kata Yusril Ihza Mahendra di sela persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019).

Baca: Debat BW dengan Luhut di Sidang MK, Penonton Tertawa dan Tepuk Tangan

Yusril Ihza Mahendra pun mengungkapkan makna terkait penggunaan dua kata tersebut.

"Itu menunjukkan permohonan mereka banyak berdasarkan asumsi, padahal pengadilan bicara bukti, bukan asumsi,” ujarnya.

Berita Rekomendasi

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut optimis permohonan kubu 02 akan ditolak Mahkamah Konstitusi.

Terutama jika kubu 02 tidak bisa membuktikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) secara kuantitatif.

“Kalau pelanggaran TSM bukan kewenangan MK, tentu harus dibuktikan bahwa pelanggaran TSM itu bisa memberi dampak pada perolehan suara, jadi tak bisa kalau hanya asumsi, pasti ditolak,” tegasnya.

Ia pun mencontohkan soal kenaikan gaji PNS, seperti yang diungkut kubu 02.

Menurut Yusril, menaikkan gaji dan tunjangan PNS sudah disepakati pemerintah bersama DPR RI.

"Kalau pun kemudian PNS yang berjumlah misal 4,1 juta orang itu memilih Jokowi semua apakah bisa dibuktikan, kalau ditanya satu-satu pilih siapa kan melanggar undang-undang. Kalau pun angka 4,1 juta itu kemudian dianulir tidak serta merta memenangkan Pak Prabowo karena selisihnya 17 juta,” kata Yusril.

BPN sebut jawaban standar

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas