Perlukah Poligami Dilegalkan di Aceh?
Namun pemerintah Aceh berasalan peraturan baru diperlukan "demi menjaga keadilan dan kepastian hukum".
Editor: Hasanudin Aco
'Cegah' nikah siri?
Di tengah kontroversi yang berkembang, rancangan qanun tentang poligami di Aceh telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk selanjutnya dibahas.
Meski secara nasional Undang-undang nomor 1 tahun 1974 telah mengatur poligami, landasan itu dirasa kurang memadai sehingga di Aceh dipandang perlu mempunyai peraturan daerah, kata Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alidar.
"Banyak dari mereka yang akhirnya menikah pada keladi-keladi liar di luar sana, sehingga terzalimi anak-anak dan istri-istri yang dinikahi secara siri, hingga mereka tidak mendapatkan haknya, seperti warisan," jelasnya.
Karena alasan tersebut, Alidar, mengatakan lahirnya Rencana Qanun (RAQAN) Hukum Keluarga, tujuannya untuk tidak membiarkan praktik pernikahan secara siri terus dilakukan di Provinsi Aceh.
"Kita tetap mendorong prinsip pernikahan monogami, namun jika orang ingin berpoligami dia harus mengikuti peraturan yang kita keluarkan ini," terang Alidar.
Bagaimana mau poligami, jumlah perempuan di Aceh lebih banyak?
Berdasarkan data dari Dinas Registrasi Kependudukan Aceh, laporan tahun 2018 menyebutkan jumlah penduduk di Provinsi Aceh sebanyak 5.184.003 jiwa pada tahun 2017, dengan komposisi jenis laki-laki sebanyak 2.611.997 jiwa, dan komposisi jumlah perempuan sebanyak 2.572.003 jiwa.
Setidaknya jika melihat statistik tersebut, ketua Balai Syura Ureung Inong Aceh, Soraya Kamaruzzaman, menilai qanun poligami tidak penting.
"Secara jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan, lalu apa yang mau diatur oleh pemerintah? Seharunya pemerintah konsen terhadap kebijakan lain," terang Soraya Kamaruzzaman.
Pembahasan Rancangan Qanun Hukum Keluarga dijadwalkan akan dimulai pada awal Agustus 2019 di DPRA.
Wakil Ketua Komisi VII DPRA, Musannif, mengatakan masih sangat banyak pembahasan yang harus didiskusikan kembali terkait rancangan qanun itu, di antaranya sanksi yang belum mengatur tentang bagaimana dengan para eksekutif dan legislatif yang sebelumnya sudah melakukan pernikahan siri.
"Kita tidak tutup mata, di Aceh baik eksekutif maupun legislatif memiliki istri lebih dari satu. Justru jika qanun itu diterima pusat akan lebih jelas status istri kedua beserta dengan anaknya," kata Musannif, Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh.
Musannif mengakui masih banyaknya pro dan kontra terkait isu poligami, termasuk banyak orang berkomentar di media sosial yang mengatakan bahwa poligami hanya keinginan para petinggi yang memiliki jabatan dan harta.
"Ini contoh seperti larangan narkoba, tapi masih banyak yang menggunakan. Sama juga dengan kalau kita melarang poligami, tapi pada kenyataanya banyak pula yang melakukan pernikahan siri," jelas Musannif.