Jaksa Minta Majelis Hakim Tolak Nota Pembelaan Joko Driyono dan Penasihat Hukum
Permohonan tersebut dibacakan Sigit dalam sidang lanjutan dengan agenda replik atau jawaban atas nota pembelaan Joko Driyono
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa terdakwa kasus dugaan perusakan barang bukti sekaligus mantan Plt Ketua Umum PSSI Joko Driyono atau Jokdri, Sigit Hendradi, meminta Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menolak nota pembelaan Jokdri dan penasehat hukumnya.
Permohonan tersebut dibacakan Sigit dalam sidang lanjutan dengan agenda replik atau jawaban atas nota pembelaan Joko Driyono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (15/7/2019).
"Oleh karenanya kami bermohon kepada Ketua/Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini kiranya berkenan memutuskan sebagai berikut. Menolak nota pembelaan dari terdakwa Joko Driyono dan dari Penasehat Hukum terdakwa Joko Driyono untuk seluruhnya. Menerima surat tuntutan Penuntut Umum nomor register perkara : PDM- 58/JKTSL/Epp.2/04/2019 tertanggal 4 Juli 2019 yang telah dibacakan di muka persidangan," kata Sigit di ruanh sidang.
Sigit menjelaskan, pada pokoknya terdapat tiga jawaban yang disampaikannya dalam persidangan.
Baca: MPR: Rekonsiliasi Penting untuk Persatuan Bangsa
Baca: Gempa Hari Ini - BMKG Catat Gempa 5,3 Kembali Guncang Labuha Maluku Utara, Sore Ini
Baca: Ekonomi Digital Tantangan Global Pemuda Indonesia
Pertama yakni jawaban terkait unsur kesengajaan.
Sigit membantah pembelaan penasehat hukum dalam sidang pada Kamis (11/7/2019) lalu yang menyatakan bahwa Jokdri melakukan tersebut karena ada kesesatan pikir.
"Pertama mengenai unsur krsengajaan bahwa terdakwa tidak memiliki kesengajaan, melainkan hanya kesesatan fakta (pikir). Makanya tadi saya uraikan peristiwa-peristiwanya dari awal sampai akhir. Mulai dari terdakwa mengetahui ada penyegelan, lalu dia timbul kekhawatiran, bahwa nanti penggeledahan akan serampangan," katq Sigit.
Kedua adalah terkait penggunaan kunci palsu.
Sigit menegaskan jika yang dimaksud penggunaan kunci palsu dalam tuntutannya adalah penggunaan finger print dari tersangka Mardani Mogot untuk masuk ke ruangan tersebut.
"Memang betul itu ruangan kerja Pak Joko, Komdis, tapi ketika dipasang garis polisi, penguasaan itu beralih ke penyidik satgas anti mafia bola. Seharusnya siapapun yang masuk harus izin, nah itulah palsu, karena tidak izin," kata Sigit.
Ketiga, Sigit membantah dalil penasehat hukim Jokdri yang menyebut bahwa objek perbuatan harus barang bukti yang berkaitan dengan perkara kasus dugaan pengaturan skor di Banjarnegara yang ditangani Satgas Anti Mafia Bola.
Baca: Ekonomi Digital Tantangan Global Pemuda Indonesia
Baca: Lirik Lagu Time of Our Life DAY6, Lengkap dengan Terjemahan Indonesia, Tonton Video Klipnya di Sini!
Baca: Rekonsiliasi Dibangun Dengan Mengedepankan Kepentingan Bangsa
Sigit menjelaskan, pada pasal 233 yang ditujukan untuk menuntut Jokdri tidak mensyararkan bahwa objek perbuatan harus barang bukti yang berkaitan dengan kasus dugaan pengaturan skor di Banjarnegara yanh ditangani Satgas Anti Mafia Bola.
"Ketiga, dia (PH) bilang objek perbuatan harus barang bukti yang berkaitan dengan perkara Banjarnegara. Saya bantah di situ karena pasal 233 tidak mensyaratkan itu. Kecuali pasal 231 KUHP, itu ada syaratnya. Barang bukti sitaan. Disita dulu pengadilan. Kalau 233 tidak ada," lata Sigit.