Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saksi Ungkap Adanya Pertemuan Sofyan Basir, Eni Saragih, dan Kotjo Bahas Proyek PLTU

Iwan mengungkapkan pertemuan antara Sofyan Basir, Eni, dan Kotjo itu terjadi di kawasan Semanggi, Jakarta, pada 19 Desember 2017.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sugiyarto
zoom-in Saksi Ungkap Adanya Pertemuan Sofyan Basir, Eni Saragih, dan Kotjo Bahas Proyek PLTU
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 mantan Dirut PLN Sofyan Basir mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/7/2019). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan empat orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terungkap, pada 19 Desember 2017 mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir,  mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih,  dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, menggelar pertemuan khusus untuk membahas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1,

Pertemuan khusus itu diungkap oleh Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), Iwan Agung Firstantara, saat dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (15/7/2019).

Iwan mengungkapkan pertemuan antara Sofyan Basir, Eni, dan Kotjo itu terjadi di kawasan Semanggi, Jakarta, pada 19 Desember 2017.

Iwan mengaku diundang oleh Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan PLN, untuk menghadiri undangan itu.

"Kami bicara masalah RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik,-red) PLTU. Kotjo mengatakan keberatan 51 persen, mereka tidak bisa kontrol penuh," kata Iwan, di persidangan.

Sebelum pertemuan itu, Iwan mengaku sudah dikenalkan oleh Supangkat Iwan Santoso kepada Eni. Iwan mengklaim dikenalkan oleh Eni di kantor pusat PLN.

Berita Rekomendasi

Setelah Kotjo merasa keberatan terhadap kepemilikan saham sebesar 51 persen oleh PT PJB di proyek PLTU Riau-1, kata dia, Sofyan Basir mengarahkan untuk meminta China Huadian Enginering Company Limited (CHEC) terlibat di proyek itu.

Proses keterlibatan CHEC disesuaikan dengan prinsip Good Corporate Governance atau Azas Umum Pemerintahan yang Baik.

PT PLN selaku pemegang saham menugasi PT PJB untuk menggarap proyek PLTU Riau-1. Lalu, dibentuk konsorsium untuk menggarap proyek PLTU Riau-1.

Konsorsium itu melibatkan anak perusahaan PT PJB, yaitu PT PJB Investment, Blackgold Natural Resources, dan CHEC.

"Dalam penandatanganan HoA (Head of Agreement,-red) PJB sebagai pengembang. Jadi dari PLN (Persero) menunjuk PJB untuk melaksanakan (proyek PLTU Riau-1,-red)" kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan PT PJB, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) untuk saksi Iwan.

JPU pada KPK menanyakan mengenai maksud Eni Maulani Saragih mengungkapkan kalimat 'ganti judul'.

Semula, Iwan mengira pernyataan itu terkait pembahasan proyek PLTU Riau-1 cepat selesai dan tahun depan diganti dengan proyek lain.

Selain itu, JPU pada KPK menelusuri soal proses administrasi pelaksanaan proyek di PLN terutama terkait pelaksanaan Letter of Intent (LoI).

JPU pada KPK menyebut, sebelum proses LoI, seharusnya terlebih dahulu dilakukan proses shareholder agreement dan joint venture agreement. Setelah proses LoI selesai baru dilakukan Power Purchase Agreement (PPA).

Iwan mengaku pernah mendengar mengenai penandatanganan PPA itu. Namun, belum pernah melihat bentuk dokumen.

"Saya mendengar, tetapi belum pernah melihat dokumennya," tambahnya.

Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.

KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).

Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.

KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.

Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.

Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisn Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.

JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.

Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 Miliar.

Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas