Update Terbaru Kasus Baiq Nuril: Surat Pemberian Amnesti dari Jokowi Dikirim ke DPR
Kabar terbaru datang dari proses pemberian amnesti bagi terpidana percakapan ilegal, Baiq Nuril Maknun. Surat pemberian amnesti sudah dikirim ke DPR.
Penulis: Daryono
Editor: Sri Juliati
Dalam surat itu, awalnya Baiq Nuril menceritakan bagaimana ia kerap mendapat pelecehan seksual verbal dari atasannya yang merupakan Kepala Sekolah SMA 7 Mataram.
Tangis Baiq Nuril seketika pecah saat ia terkenang perisitiwa itu.
Ia sempat terdiam selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan membaca suratnya.
Dalam kalimat-kalimat selanjutnya, Baiq Nuril terus menceritakan perjalanan kasusnya hingga peninjauan kembali yang diajukannya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Baca: Korban UU ITE Baiq Nuril Harapkan Amnesti Presiden Jokowi
Di ujung surat, ia lalu menyatakan harapan agar Presiden Jokowi bisa mengeluarkan amnesti untuk membebaskannya dari jerat hukum.
"Saya, Baiq Nuril Maknun, sangat berterima kasih dan mendukung niat mulia Bapak Presiden Joko Widodo yang akan menggunakan hak prerogatif sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menjalankan amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 Ayat (2), yaitu dengan memberikan amnesti kepada saya," kata dia.
Ini isi suratnya:
Yth. Presiden Republik Indonesia
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Di
Istana Kepresidenan
Jalan Veteran No. 16-18
Jakarta
Assalamu’alaikum, Wr, Wb.
Bapak Presiden, ijinkan saya pertama-tama memperkenalkan diri. Nama saya Baiq Nuril Maknun.
Saya rakyat Indonesia, hanya lulusan SMA. Sebelum di PHK karena kasus yang saya hadapi, saya bekerja sebagai honorer di satu Sekolah Menengah Atas di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya juga ibu dari tiga orang anak.
Suami saya awalnya bekerja di Gili Trawangan, yang berjarak 50 kilo meter dari tempat kami tinggal.
Saat saya menjalani proses persidangan dan harus ditahan selama dua bulan tiga hari, suami saya harus merawat anak-anak kami, dan akhirnya mengalami nasib yang sama, kehilangan pekerjaan.
Yang mulia Bapak Presiden, kasus yang menimpa saya terjadi mulai dari tahun 2013. “Teror” yang dilakukan oleh atasan saya terjadi berulang kali, bukan hanya melalui pembicaraan telpon, tapi juga saat perjumpaan langsung. Saya dipanggil ke ruang kerjanya.